Review

Tuesday, March 29, 2016

“MERY JANE DAN JEJARING SOLIDARITAS TRANSNASIONAL”


Oleh

Paskalis Alfinos Toda

The early Cold War, after all, was not simply a positional conflict among anonymous great powers: it was a war for "hearts and minds(Finnemore dan Sikkink,1998:887)
Tulisan ini membahas jejaring solidaritas transnasional yang terbentuk dalam penolakan hukuman mati yang menjerat Mery Jane. Penulis berargumentasi bahwa civil society mempunyai pengaruh yang besar di dalam pembentukan ide dan norma dalam konstelasi politik domestik dan global dalam era globalisasi.
Jejaring dan Solidaritas Civil Society
Dalam dua pekan terakhir media mainstream sampai media lokal dipenuhi dengan isu hukuman mati di Indonesia. Mary Jane, buruh migran asal Filipina menjadi salah satu terpidana hukuman mati yang ditunda eksekusi hukuman matinya. Dalam kasus Mery Jane terdapat multi interest dari berbagai aktor baik aktor negara maupun non negara sehingga terbentuk cross cutting effect yang saling mempengaruhi. Salah satunya berasal dari civil society yang membentuk jejaring dan solidaritas untuk mengadvokasi dan mengkampanyekan dukungan bagi Mery Jane agar dibebaskan dari jeratan hukuman mati melalui dunia maya dan praktik realitias. Gerakan sosial seperti ini biasanya dapat dimaknai sebagai gerakan online dan offline.
Banyak teoritisi beranggapan bahwa pada saat ini dunia tengah memasuki globalisasi. Meskipun demikan, masih ada banyak perdebatan di antara para ahli mengenai kapan globalisasi itu terjadi. Strange dalam Weber mengatakan, “globalization has been described as “a term which can refer to anything from the Internet to a hamburger”. Marchand dalam Weber pun mempertanyakan apakah, “globalization” is a process, an ideology (“globalism”) or a “state of being” (“globality”) (Weber, 2010:108). Namun, Arjun Appadurai mengatakan bahwa globalisasi ditandai dengan ada 5 scapes yang saling berkaitan satu sama lain yakni ethoscapes, ideascapes, finanscapes, mediascapes, dan technoscapes. Kemudian pada saat ini secara akademik globalisasi telah memasuki versi 3.0 yang berarti bahwa saat ini individu vis a vis  dengan globalisasi.
Dalam kasus Mery Jane, jejaring solidaritas dalam membela Mery Jane termanifestasi ke dalam scapes media dan ide khususnya oleh civil society dan netizen.  Muncul petisi change.org/SaveMaryJane yang menolak hukuman mati bagi Mery Jane atau terdapat tagar seperti #SaveMaryJane #SelamatkanMaryJane #TolakHukumanMati #SelamatkanNyawaBuruhMigran. Kemudian  juga terdapat dukungan dari masyarakat Filipina yang menamankan diri sebagai “Church Task Force to Save the Life of Mary Jane Veloso”.
Hukuman mati: Negara vs Civil Society?
Indonesia menganut hukuman mati khususnya bagi kasus white crime.  Namun yang menarik adalah terdapat gelombang protes dan advokasi yang diberikan oleh masyarakat Indonesia sendiri bagi Mery Jane yang nota bene telah dijatuhi hukuman mati. Di era globalisasi negara bukanlah sebuah kotak hitam (the state is not a black box)  tetapi di dalamnya terdapat institusi dan individu yang berbeda-beda. Salah satu ide dan norma yang dibawakan civil society adalah norma pro life yang menjunjung tinggi hak universal manusia yakni hak akan kehidupan. Dalam konsep tentang norm cycle terdapat beberapa tahapan bagaimana norma dapat terbentuk. Pertama norm emerging, norm cascading, dan Internalization (Finnemore dan Sikkink,1998:896).  Dari munculnya norma sampai dapat diinternalisasi oleh suatu masyarakat atau negara membutuhkan sosialisasi. Tindakan dukungan terhadap Mery Jane secara tidak langsung termaktub norm building atas penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia bagi setiap umat manusia tanpa terkecuali.
Kekuatan Identitas
Kisah Mery Jane dapat menjadi preseden bagi masyarakat Indonesia dalam membentuk jejaring dan solidaritas transnasional. Ide, norma, dan nilai pada dasarnya merupakan sesuatu yang dapat di konstruksikan. Simplifikasi dari definisi ide pada dasarnya merupakan suatu hal yang dianggap baik dan salah yang berasal dari individu. Ide yang sifatnya individual dapat berkembang menjadi norma yang merupakan harapan kolektif mengenai perilaku yang seharusnya. Sehingga norma mempunyai nuansa intersubjective karena merupakan collective expectation (Risse dan Sikkink, 2007:7).
Di era globalisasi penyebearan ide dan norma melalui media sosial mempunyai dampak yang luas. Pola komunikasi saat ini dapat berbentuk all channel atau multidirectional communication sehingga arus informasi kian terasa semakin luas dan tak terbendung. Dalam era informasi yang massif  dan relatif tanpa filter peran civil society  sangat signifikan dalam mengupayakan dan mengkampanyekan nilai-nilai kebaikan seperti anti kekerasan, kesetaraan, serta pro life. Sehingga tata kelola global governance yang diharapkan seperti adanya transparasi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dapat tercapai.
 Kemudian, dukungan civil society  Indonesia bagi  Mery Jane yang adalah warga negara Filipina menujukkan bahwa pada dasarnya identitas manusia sebagai individu maupun kolektif berlapis. Identitas bukan merupakan suatu hal tunggal tetapi jamak. Identitas menjadi hal yang penting dalam era kontemporer. Castells memberikan pemahaman mengenai project identity (Castells, 2010:8). Menurutnya, project identity terjadi ketika aktor sosial  meredefinisikan kembali posisi mereka di dalam struktur sosial. Dalam pembelajaran kasus Mery Jane, civil society membentuk project identity bagi masyarakat luas secara khusus identitas akan penghargaan terhadap hak hidup dan penghormatan terhadap martabat manusia meskipun hukum di Indonesia terdapat hukuman mati.
Semoga dengan berbagai momentum dan isu yang muncul civil society dapat mempelajari pola dan kekuatan jejaring dan solidaritas sehingga tujuan civil society dalam mengadvokasi masyarakat yang termarjinalkan dari akses power dapat terwujud. Meskipun utopis tetapi alangkah lebih baik jika kita dapat berpikir untuk perubahan daripada tidak sama sekali. Semoga.
#AllisFine
***















1 comment: