Oleh
Paskalis Alfinos Toda
“The early Cold War,
after all, was not simply a positional conflict among anonymous great powers:
it was a war for "hearts and minds” (Finnemore dan
Sikkink,1998:887)
Tulisan ini membahas jejaring solidaritas transnasional
yang terbentuk dalam penolakan hukuman mati yang menjerat Mery Jane. Penulis
berargumentasi bahwa civil society
mempunyai pengaruh yang besar di dalam pembentukan ide dan norma dalam
konstelasi politik domestik dan global dalam era globalisasi.
Jejaring
dan Solidaritas Civil Society
Dalam dua pekan terakhir media mainstream sampai media lokal dipenuhi dengan isu hukuman mati di
Indonesia. Mary Jane, buruh migran asal Filipina menjadi salah satu terpidana
hukuman mati yang ditunda eksekusi hukuman matinya. Dalam kasus Mery Jane
terdapat multi interest dari berbagai
aktor baik aktor negara maupun non negara sehingga terbentuk cross cutting effect yang saling
mempengaruhi. Salah satunya berasal dari civil
society yang membentuk jejaring dan solidaritas untuk mengadvokasi dan
mengkampanyekan dukungan bagi Mery Jane agar dibebaskan dari jeratan hukuman
mati melalui dunia maya dan praktik realitias. Gerakan sosial seperti ini
biasanya dapat dimaknai sebagai gerakan online dan offline.
Banyak teoritisi
beranggapan bahwa pada saat ini dunia tengah memasuki globalisasi. Meskipun
demikan, masih ada banyak perdebatan di antara para ahli mengenai kapan
globalisasi itu terjadi. Strange dalam Weber mengatakan, “globalization has been described as “a term which can refer to
anything from the Internet to a hamburger”. Marchand dalam Weber pun mempertanyakan
apakah, “globalization” is a process, an
ideology (“globalism”) or a “state of being” (“globality”) (Weber,
2010:108). Namun, Arjun Appadurai mengatakan bahwa globalisasi ditandai dengan
ada 5 scapes yang saling berkaitan satu sama lain yakni ethoscapes, ideascapes, finanscapes,
mediascapes, dan technoscapes. Kemudian pada saat ini secara akademik
globalisasi telah memasuki versi 3.0 yang berarti bahwa saat ini individu vis a vis dengan globalisasi.
Dalam kasus Mery
Jane, jejaring solidaritas dalam membela Mery Jane termanifestasi ke dalam scapes media dan ide khususnya oleh civil
society dan netizen. Muncul petisi change.org/SaveMaryJane yang
menolak hukuman mati bagi Mery Jane atau terdapat tagar seperti #SaveMaryJane
#SelamatkanMaryJane #TolakHukumanMati #SelamatkanNyawaBuruhMigran.
Kemudian juga terdapat dukungan dari
masyarakat Filipina yang menamankan diri sebagai “Church Task Force to Save the Life of Mary Jane Veloso”.
Hukuman
mati: Negara vs Civil Society?
Indonesia menganut hukuman mati khususnya bagi kasus white crime.
Namun yang menarik adalah terdapat gelombang protes dan advokasi
yang diberikan oleh masyarakat Indonesia sendiri bagi Mery Jane yang nota bene telah dijatuhi hukuman mati.
Di era globalisasi negara bukanlah sebuah kotak hitam (the state is not a black box)
tetapi di dalamnya terdapat institusi dan individu yang berbeda-beda.
Salah satu ide dan norma yang dibawakan civil
society adalah norma pro life
yang menjunjung tinggi hak universal manusia yakni hak akan kehidupan. Dalam
konsep tentang norm cycle terdapat
beberapa tahapan bagaimana norma dapat terbentuk. Pertama norm emerging, norm cascading,
dan Internalization (Finnemore dan
Sikkink,1998:896). Dari munculnya norma
sampai dapat diinternalisasi oleh suatu masyarakat atau negara membutuhkan
sosialisasi. Tindakan dukungan terhadap Mery Jane secara tidak langsung
termaktub norm building atas
penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia bagi setiap umat manusia tanpa
terkecuali.
Kekuatan Identitas
Kisah Mery Jane dapat menjadi preseden bagi masyarakat
Indonesia dalam membentuk jejaring dan solidaritas transnasional. Ide, norma,
dan nilai pada dasarnya merupakan sesuatu yang dapat di konstruksikan.
Simplifikasi dari definisi ide pada dasarnya merupakan suatu hal yang dianggap
baik dan salah yang berasal dari individu. Ide yang sifatnya individual dapat
berkembang menjadi norma yang merupakan harapan kolektif mengenai perilaku yang
seharusnya. Sehingga norma mempunyai nuansa intersubjective
karena merupakan collective
expectation (Risse dan Sikkink, 2007:7).
Di era globalisasi penyebearan ide dan norma melalui
media sosial mempunyai dampak yang luas. Pola komunikasi saat ini dapat
berbentuk all channel atau
multidirectional communication sehingga arus informasi kian terasa semakin
luas dan tak terbendung. Dalam era informasi yang massif dan relatif tanpa filter peran civil society sangat signifikan dalam mengupayakan dan
mengkampanyekan nilai-nilai kebaikan seperti anti kekerasan, kesetaraan, serta pro life. Sehingga tata kelola global
governance yang diharapkan seperti adanya transparasi, akuntabilitas, dan
partisipasi publik dapat tercapai.
Kemudian, dukungan
civil society Indonesia bagi Mery Jane yang adalah warga negara Filipina menujukkan
bahwa pada dasarnya identitas manusia sebagai individu maupun kolektif
berlapis. Identitas bukan merupakan suatu hal tunggal tetapi jamak. Identitas
menjadi hal yang penting dalam era kontemporer. Castells memberikan pemahaman
mengenai project identity (Castells, 2010:8). Menurutnya, project
identity terjadi ketika aktor sosial
meredefinisikan kembali posisi mereka di dalam struktur sosial. Dalam
pembelajaran kasus Mery Jane, civil society membentuk project
identity bagi masyarakat luas secara khusus identitas akan penghargaan
terhadap hak hidup dan penghormatan terhadap martabat manusia meskipun hukum di
Indonesia terdapat hukuman mati.
Semoga dengan berbagai momentum dan isu yang muncul civil
society dapat mempelajari pola dan kekuatan jejaring dan solidaritas
sehingga tujuan civil society dalam mengadvokasi masyarakat yang
termarjinalkan dari akses power dapat terwujud. Meskipun utopis tetapi alangkah
lebih baik jika kita dapat berpikir untuk perubahan daripada tidak sama sekali.
Semoga.
#AllisFine
***
Halo, tulisan kamu bagus. Makasih atas infonya:)
ReplyDelete