Oleh
Paskalis
Alfinos Toda
Peminat
Hubungan Internasional
“If
we don’t end war, war will end us”
(H.G.
Wells)
Selama perang
dingin (cold war) sistem internasional
berbentuk sistem bipolar yang ditandai dengan rivalitas antara dua negara super power yakni Amerika Serikat dan
Uni Soviet. Negara-negara tergabung ke dalam dua blok ideologi yakni blok kanan
yang dipimpin oleh AS dengan ideologi liberal dan blok timur yang dipimpin oleh
negara Uni Soviet dengan ideologi komunis. Adapun negara-negara yang tidak
memihak kedua blok ini membentuk Gerakan Non Blok (GNB). Mayoritas
negara-negara GNB adalah negara yang baru saja merdeka termasuk Indonesia.
Pasca perang
dingin yang ditandai dengan kolapsnya Unisoviet menjadi Rusia dan rubuhnya
tembok Berlin, muncul aktor-aktor non
negara yang mempunyai pengaruh yang signifikan di dalam hubungan internasional misalnya
terorisme. Kebijakan war on terror
yang dikeluarkan oleh Presiden AS George Bush junior merupakan kebijakan luar
negeri AS dalam memerangi terorisme pasca terjadinya peristiwa 9/11 yang
memakan lebih dari 3000 jiwa. Dengan adanya kebijakan ini, AS kemudian
menginvasi Afganistan (2001) dan Irak (2003) dengan tujuan untuk memerangi
kelompok teroris Al Qaeda.
Dalam pandangan realis, perang merupakan
suatu hal yang tidak dapat dihindari. Hal ini dikarenakan negara hidup di dalam
sistem internasional yang anarki. Dalam pandangan Hobessian, anarki merupakan state
of nature. Secara umum, Wardoyo (2015:99) menjelaskan tiga kategori perang.
Pertama, perang konvensional yang melibatkan dua negara meski dapat pula
berbentuk perang hegemoni atau perang global yang melibatan lebih dari dua
negara. Kedua, perang internal ataupun perang sipil (civil war). Ketiga, perang asimetris yang melibatkan negara
melawan aktor non negara.
Jika semasa perang dingin ancaman
terutama negara adalah ancaman perang dan militeristik dari negara lain, pasca
perang dingin, ancaman terhadap negara tidak hanya berasal dari ancaman perang
dan militeristik (high politic) dari
negara lain tetapi ancaman juga berasal
dari aktor non negara seperti terorisme. Misalnya kelompok teroris ISIS yang
juga mempunyai kekuatan militer dan sumber daya ekonomi serta struktur
organisasi.
Peristiwa
Serangan dan Bom Paris
Peristiwa serangan
teroris di Paris pada Jumat 13 November 2015 memang menyita atensi publik. Hal
ini dikarenakan skema penyerangan yang terjadi begitu rapi yang tersebar ke
dalam beberapa titik dan memakan ratusan korban jiwa dan luka-luka. Selain itu,
nuansa politis terdapat di dalam penyerangan dan bom Paris karena kejadian ini
terjadi satu hari sebelum dilangsungkan petemuan kepala negara anggota G 20 di
Turki. Salah satu isu yang dibahas di dalam pertemuan ini adalah penyelesaian
kasus teroris ISIS di Irak dan Suriah. Hall dan Biersteker beranggapan bahwa otoritas
yang dimiliki oleh negara merupakan otoritas publik. Saat ini, otoritas publik
telah berhadapan dengan otoritas privat yang muncul dari aktor-aktor non
negara. Terdapat tiga jenis otoritas privat
(private authority) menurut mereka yakni otritas pasar (market authority), otoritas moral (moral authority), dan otoritas haram (illicit authority). Contoh dari illicit authority misalnya sepeti kelompok terorisme ISIS karena
otoritas ini berbentuk organisasi kekerasan (2004:16).
Sekuritisasi
Isu Terorisme
Dalam memberikan
respon terhadap peristiwa penyerangan dan bom di Paris, Presiden Francois Hollande memberikan
respon bahwa, “We have, on my decision,
mobilised all forces possible to neutralise the terrorists and make all
concerned areas safe. I have also asked for military reinforcements. They are
currently in the Paris area, to ensure that no new attack can take place. I
have also called a cabinet meeting that will be held in a few minute”. Di dalam kajian keamanan (security), Presiden Hollande melakukan konstruksi diskursus akan adanya ancamana nyata (existential threat). Proses ini dilakukan melalui speech act kepada publik (audience). Presiden Hollande
memposisikan dirinya sebagai aktor sekuritisasi (securitizing actor) dan memberikan speech act kepada publik bahwa terdapat existensial threat yang memberikan ancaman bagi negaranya dalam hal
ini bahaya terorisme. Pandangan Copenhagen School dalam hubungan
internasional beranggapan bahwa, “. . . security is about survival . . . when an issue is posed
as constituting an existential threat to a designated referent object [the
state] . . . The special nature of security threats justifies the use of extraordinary
measures to handle them (Buzan et al 1998:
21). Pandangan keamanan dalam konteks ini ditujukan pada survival dan ancaman terhadap negara karena negara yan menjadi referent object. Jika keamanan negara
yang menjadi prioritas di dalam sekuritisasi, lantas apakah hal tersebut justru
membuat masyarakat menjadi aman?
Konsep eksepsional merupakan konsep yang berkembang di
dalam memahami respon negara terhadap isu terorisme. Konsep eksepsional menjadi popular setelah
kebijakan luar negeri AS “war on terror”
pada era pemerintahan Presiden George
Bush junior. Menurut Neal eksepsionalisme
merupakan pandangan yang meliputi susunan kebijakan dan praktik illiberal
yang dilegitimasi melalui klaim tentang eksepsi (pengecualian) terhadap
norma (Neal:2006, Hal.31). Politik eksepsioanal merupakan tindakan yang beyond
the law sehingga respon negara terhadap aksi terorisme dengan cara militeristik
menjadi suatu pembenaran meskipun tindakan tersebut memberikan ketidakamanan
bagi masyarakat baik yang ada di negaranya maupun yang berada di negara lain.
Atau dengan kata lain, ketika negara melakukan sekuritisasi (proses keamanan)
pada saat yang sama juga memberikan insekuriti (ketidakamaman) bagi masyarakat
baik yang berada di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri secara
khusus negara-negara yang menjadi negara asal terorisme. Hal ini dapat dilihat
dari adanya tindakan serangan negara-negara dalam meredam kelompok teroris yang
memakan korban sipil dan salah sasaran.
Tindakan sekuritisasi yang cenderung berorientasi pada survival negara dan cenderung state centric mendapatkan kritik dari
penstudi sekuriti kritis seperti Ken
Booth. Ia berargumen bahwa keamanan haruslah, “about
the ‘emancipation . . .
of individuals and groups from those physical and human constraints which stop them from carrying out what they would freely
choose to do’ (Booth 1991: 319). Booth memberikan argumen bahwa keamanan haruslah dapat
mengemansipasi manusia baik sebagai individu maupun kelompok. Maka pertanyaan
yang bisa dijadikan refleksi adalah yang menjadi ancaman adalah apakah
eksistensi teroris itu sendiri? Ataukah respon negara terhadap terorisme baik
yang berada di dalam negara, pada level transnasional, dan global?
Jelas
bahwa kita semua mengutuk aksi terorisme karena sangat bertentangan kemanusiaan
dan tidak ada agama dimanapun di dunia ini yang mengindahkan kekerasan dan
kekejaman. Kita semua berharap semoga perdamaian di dunia ini dapat diwujudkan
secara khusus bagi sama saudara kita yang berada di kawasan Timur Tengah dan
Eropa. Semoga para pemimpin negara di dunia ini dapat bersatu padu dalam
membangun dunia yang lebih baik. Jika tidak, perkataan H.G. Wells pada
awal tulisan ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua dalam memahami dinamika
politik global kontemporer.
#AllisFine
No comments:
Post a Comment