Review

Tuesday, March 29, 2016

“SEKURITISASI TERORISME”




Oleh
Paskalis Alfinos Toda
Peminat Hubungan Internasional
“If we don’t end war, war will end us”
(H.G. Wells)

Selama perang dingin (cold war) sistem internasional berbentuk sistem bipolar yang ditandai dengan rivalitas antara dua negara super power yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Negara-negara tergabung ke dalam dua blok ideologi yakni blok kanan yang dipimpin oleh AS dengan ideologi liberal dan blok timur yang dipimpin oleh negara Uni Soviet dengan ideologi komunis. Adapun negara-negara yang tidak memihak kedua blok ini membentuk Gerakan Non Blok (GNB). Mayoritas negara-negara GNB adalah negara yang baru saja merdeka termasuk Indonesia.
Pasca perang dingin yang ditandai dengan kolapsnya Unisoviet menjadi Rusia dan rubuhnya tembok Berlin,  muncul aktor-aktor non negara yang mempunyai pengaruh yang signifikan di dalam hubungan internasional misalnya terorisme. Kebijakan war on terror yang dikeluarkan oleh Presiden AS George Bush junior merupakan kebijakan luar negeri AS dalam memerangi terorisme pasca terjadinya peristiwa 9/11 yang memakan lebih dari 3000 jiwa. Dengan adanya kebijakan ini, AS kemudian menginvasi Afganistan (2001) dan Irak (2003) dengan tujuan untuk memerangi kelompok teroris Al Qaeda.
Dalam pandangan realis, perang merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Hal ini dikarenakan negara hidup di dalam sistem internasional yang anarki. Dalam pandangan Hobessian, anarki merupakan state of nature. Secara umum, Wardoyo (2015:99) menjelaskan tiga kategori perang. Pertama, perang konvensional yang melibatkan dua negara meski dapat pula berbentuk perang hegemoni atau perang global yang melibatan lebih dari dua negara. Kedua, perang internal ataupun perang sipil (civil war). Ketiga, perang asimetris yang melibatkan negara melawan aktor non negara.
Jika semasa perang dingin ancaman terutama negara adalah ancaman perang dan militeristik dari negara lain, pasca perang dingin, ancaman terhadap negara tidak hanya berasal dari ancaman perang dan militeristik (high politic) dari negara lain tetapi ancaman  juga berasal dari aktor non negara seperti terorisme. Misalnya kelompok teroris ISIS yang juga mempunyai kekuatan militer dan sumber daya ekonomi serta struktur organisasi.


Peristiwa Serangan dan Bom Paris
Peristiwa serangan teroris di Paris pada Jumat 13 November 2015 memang menyita atensi publik. Hal ini dikarenakan skema penyerangan yang terjadi begitu rapi yang tersebar ke dalam beberapa titik dan memakan ratusan korban jiwa dan luka-luka. Selain itu, nuansa politis terdapat di dalam penyerangan dan bom Paris karena kejadian ini terjadi satu hari sebelum dilangsungkan petemuan kepala negara anggota G 20 di Turki. Salah satu isu yang dibahas di dalam pertemuan ini adalah penyelesaian kasus teroris ISIS di Irak dan Suriah. Hall dan Biersteker beranggapan bahwa otoritas yang dimiliki oleh negara merupakan otoritas publik. Saat ini, otoritas publik telah berhadapan dengan otoritas privat yang muncul dari aktor-aktor non negara. Terdapat tiga jenis otoritas privat (private authority) menurut mereka yakni otritas pasar (market authority), otoritas moral (moral authority), dan otoritas haram (illicit authority). Contoh dari illicit authority misalnya sepeti kelompok terorisme ISIS karena otoritas ini berbentuk organisasi kekerasan (2004:16).
Sekuritisasi Isu Terorisme
Dalam memberikan respon terhadap peristiwa penyerangan dan bom di Paris, Presiden Francois Hollande memberikan respon bahwa, We have, on my decision, mobilised all forces possible to neutralise the terrorists and make all concerned areas safe. I have also asked for military reinforcements. They are currently in the Paris area, to ensure that no new attack can take place. I have also called a cabinet meeting that will be held in a few minute”. Di dalam kajian keamanan (security),  Presiden Hollande  melakukan konstruksi diskursus akan  adanya ancamana nyata (existential threat). Proses ini dilakukan melalui speech act kepada publik (audience). Presiden Hollande memposisikan dirinya sebagai aktor sekuritisasi (securitizing actor) dan memberikan speech act kepada publik  bahwa terdapat existensial threat yang memberikan ancaman bagi negaranya dalam hal ini  bahaya terorisme.  Pandangan Copenhagen School dalam hubungan internasional beranggapan bahwa, . . . security is about survival . . . when an issue is posed as constituting an existential threat to a designated referent object [the state] . . . The special nature of security threats justifies the use of extraordinary measures to handle them (Buzan et al 1998: 21). Pandangan keamanan dalam konteks ini ditujukan pada survival dan ancaman terhadap negara karena negara yan menjadi referent object. Jika keamanan negara yang menjadi prioritas di dalam sekuritisasi, lantas apakah hal tersebut justru membuat masyarakat menjadi aman?
Konsep eksepsional merupakan konsep yang berkembang di dalam memahami respon negara terhadap isu terorisme.  Konsep eksepsional menjadi popular setelah kebijakan luar negeri AS “war on terror” pada era pemerintahan Presiden  George Bush junior. Menurut Neal eksepsionalisme merupakan pandangan yang meliputi susunan kebijakan dan praktik  illiberal yang dilegitimasi melalui klaim tentang eksepsi (pengecualian) terhadap norma (Neal:2006, Hal.31). Politik eksepsioanal merupakan tindakan yang  beyond the law sehingga respon negara terhadap aksi terorisme dengan cara militeristik menjadi suatu pembenaran meskipun tindakan tersebut memberikan ketidakamanan bagi masyarakat baik yang ada di negaranya maupun yang berada di negara lain. Atau dengan kata lain, ketika negara melakukan sekuritisasi (proses keamanan) pada saat yang sama juga memberikan insekuriti (ketidakamaman) bagi masyarakat baik yang berada di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri secara khusus negara-negara yang menjadi negara asal terorisme. Hal ini dapat dilihat dari adanya tindakan serangan negara-negara dalam meredam kelompok teroris yang memakan korban sipil dan salah sasaran.  
Tindakan sekuritisasi yang cenderung berorientasi pada survival negara dan cenderung state centric mendapatkan kritik dari penstudi sekuriti kritis seperti Ken Booth. Ia  berargumen bahwa keamanan haruslah,  about the ‘emancipation . . . of individuals and groups from those physical and human constraints which stop them from carrying out what they would freely choose to do’ (Booth 1991: 319). Booth memberikan argumen bahwa keamanan haruslah dapat mengemansipasi manusia baik sebagai individu maupun kelompok. Maka pertanyaan yang bisa dijadikan refleksi adalah yang menjadi ancaman adalah apakah eksistensi teroris itu sendiri? Ataukah respon negara terhadap terorisme baik yang berada di dalam negara, pada level transnasional, dan global?
            Jelas bahwa kita semua mengutuk aksi terorisme karena sangat bertentangan kemanusiaan dan tidak ada agama dimanapun di dunia ini yang mengindahkan kekerasan dan kekejaman. Kita semua berharap semoga perdamaian di dunia ini dapat diwujudkan secara khusus bagi sama saudara kita yang berada di kawasan Timur Tengah dan Eropa. Semoga para pemimpin negara di dunia ini dapat bersatu padu dalam membangun dunia yang lebih baik. Jika tidak, perkataan H.G. Wells pada awal tulisan ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua dalam memahami dinamika politik global kontemporer.
#AllisFine



No comments:

Post a Comment