Ringkasan
Review
Review ini membahas tulisan Stephen M.
Walt tentang Alliance Formation and the
Balance of World Power. Tulisan Walt ini merupakan analisa teoritis Walt
terhadap perkembangan dinamika konstelasi politik global pasca Perang Dingin
terutama setelah berubahnya kekuatan bipolar sistem yang didominasi oleh
Amerika Serikat dan Unisoviet. Dalam tulisan ini juga walt memaparkan bagaimana
kebijakan keamanan nasional Amerika Serikat (national
security policy) dalam dinamika hubungan internasional pasca perang dingin.
Dalam merespon ancaman yang datang dari
luar, suatu negara dapat membentuk aliansi dengan negara lain. Dalam pemikiran
tradisioal, pada dasarnya negara beraliansi untuk menghindari dominasi negara
super power. Negara cenderung beraliansi dari pada melawan super power karena
super power cenderung menggunakan power yang dimiliki untuk menekan negara yang
melawan. Persepsi ancaman suatu negara akan mempengaruhi preferensi suatu
negara untuk beraliansi dengan negara lain. Dalam beraliansi dengan negara
lain, suatu negara dapat memilih untuk balance
(beraliansi untuk melawan negara yang menjadi sumber utama ancaman) dan bandwagon (beraliansi dengan negara yang
berlagak sebagai sumber ancaman)..
Implikasi yang terjadi apabila negara memilih
balancing atau bandwagoning akan membuat negara mengumpulkan power yang dimiliki (aggregate power) sehingga power dapat
digunakan untuk menghukum suatu negara yang berada luar aliansi atau sebagai
ganjaran (reward) bagi negara yang
beraliansi. Kedua, terjadinya proximate
power. Ini berarti bahwa power digunakan oleh negara yang beraliansi secara
proksi untuk memenuhi kebutuhan negara-negara yang beraliansi. Dalam hal proximate power, jarak geografis menjadi
hal yang sangat mempengaruhi dalam pendistribusian power. Ketiga, Offensive Power. Negara dengan power
ofensif akan cenderung membuat suatu aliansi dibandingkan negara lemah yang cenderung
mempunyai power defensif. Keempat, Offensive
Intentions. Negara yang agresif cenderung untuk memprovokasi negara yang
memilih balancing untuk melawan
negara tersebut. Hal dapat membuat negara lain untuk memilih bandwagon dengan negara yang agresif
tersebut dan dapat terjadi keseimbangan dengan negara yang memilih balancing.
Selain dikarenakan oleh ancaman
eksternal, aliansi juga dapat terjadi karena adanya kebangkitan kekuatan dalam
suatu regional atau kawasan. Kebangkitan kekuatan regional akan merubah
keseimbangan dalam suatu kawasan sehingga konflik antar negara bisa saja terjadi
di dalam kawasan tersebut. Keseimbangan dibutuhkan agar keamanan di dalam
kawasan tersebut dapat terjaga sehingga tidak terjadi dominasi oleh the rising power pada suatu
kawasan. Ideologi juga dapat
mempengaruhi preferensi suatu negara untuk beraliansi. Afinitas ideologi
cenderung membuat negara-negara untuk beraliansi karena adanya kesamaan dalam
karakter politik domestik suatu negara. Kesamaan ideologi memberikan dampak
psikologis bagi entitas yang ada di dalam negara khsusnya mempengaruhi
psikologi para pengambil kebijakan. Meskipun demikian, Walt juga menegaskan
bahwa ideologi juga dapat menjadi sumber konflik bagi bagi negara misalnya seperti
pada masa Perang Dingin antara idelogi demokrasi yang diemban oleh Amerika
serikat dan ideologi komunis yang diemban oleh Uni Soviet. Atau seperti
ideologi Pan Arabisme yang diprakarsai oleh Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser
untuk menyatukan dunia Arab dalam melawan Israel dan imperialisme barat. Dari
dua kasus ini, ideologi tidak sepenuhnya dapat menjadi menjamin akan memberikan
dampak konstruktif terhadap keamanan negara. Singkatnya, apabila ideologi dapat
menjadi alasan negara untuk beraliansi maka negara yang memiliki ideologi yang
berbeda akan dianggap sebagai musuh.
Instrumen
dalam pembentukan aliansi dapat dilakukan dengan bribery dan penetration. Dengan
instrumen bribery (penyuapan),
aliansi akan semakin efektif dengan adanya bantuan ekonomi dan bantuan luar
negeri- the more aid, the tighter
resulting alliance. Hal ini sejalan dengan gagasan yang menyebutkan bahwa aids creates allies. Semakin banyak
bantuan negara pendonor yang biasanya memiliki power yang besar kepada negara
penerima, akan membuat aliansi berjalan dengan efektif karena kebutuhan negara
penerima dapat terpenuhi. Tetapi
instrumen bantuan juga mempunyai kelemahan karena bantuan sifatnya
terbatas dan negara penerima dapat menerima bantuan darimana saja, selain dari
negara-negara yang beraliansi. Selain itu, negara yang menerima bantuan yang
paling besar cenderung untuk melawan negara pendonor karena biasanya negara
pendonor mempunyai kepentingan yang besar pada negara yang mendapatkan bantuan
terbesar. Hal ini membuat adanya kemungkinan negara yang mendapatkan bantuan
terbesar untuk melawan negara pendonor. Dengan instrumen penetration, aliansi digunakan untuk mempengaruhi kebijakan
domestik suatu negara. Hal ini dapat dilakukan melalui media lobbi dan
propaganda.
Perbandingan
Tulisan Walt
Menurut Walt, aliansi dapat terbentuk
karena adanya ancaman. Konsekuensi lanjut dari hal ini adalah adanya preferensi
suatu negara untuk memilih balancing atau
bandwagon. Asumsi Walt ini dapat
disederhanakan menjadi istilah balance of
thereating. Walt mengartikan balance sebagai ally in opposition to the principal source of danger (Walt:1995,
hal. 209). Sejalan dengan Waltz, Nye mengartikan balance of power sebagai any
distribution of power. Itu artinya stabilitas dapat tercapai apabila power
didistribusikan secara sama. (Nye:1997, hal. 54). Baik balance of thereat maupun balance
of power, kedua hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan dalam dunia
internasional. Keseimbangan yang terganggu akan membawa dampak pada adanya
konflik karena menurut pandangan realis, sifat dunia internasional adalah
anarki karena tidak adanya kekuatan di atas negara yang dapat mengatur negara
(Nye:1997, hal 55). Menurut Nye, “balance
of power as a policy of balancing”. Penekanan yang diberikan oleh Nye
bahwasannya balance of power sebagai
sebuah kebijakan meskipun Nye juga mengatakan ada pilihan lain suatu negara
untuk memperbesar power yang dimiliki
melalui bandwagon. Nye mengartikan
bandwagon sebagai “flock to apprent
winner”.
Walt dan Nye berangapan bahwa proximate power menjadi hal yang penting
dalam beraliansi. Walt mengatakan, “states
will also align in response to threats from proximate power. Because the
ability to project power declines with distance, states that are nearby pose a
greater threat than those that are far away”(Walt:1997, hal. 215). Walt
beranggapan bahwa kebangkitan power di suatu negara dalam suatu kawasan turut
mempengaruhi preferensi suatu negara untuk beraliansi. Sedangkan, Nye
berpendapat bahwa suatu negara meskipun lemah di dalam dunia internasional
tetapi negara tersebut dapat membahayakan negara tetangga ataupun bagi
negara-negara yang ada di suatu kawasan (Nye:1997, hal. 56).
Sejalan dengan Walt, Nye beranggapan
bahwa terjadinya aliansi karena adanya ancaman. Menurut Nye aliansi adalah
bentuk balance of power sebagai multipolar system. Nye berpendapat, “Alliances are fomal or informal
arrangements that soverign states enter into with each other in order to ensure
mutual security. An alliance might be motivated by military concerns: Two
medium sized states might decides that they will be more secure against thereat
from a larger state by forming alliance.” (Nye:1997, hal. 58).
Sama seperti Walt, Nye beranggapan bahwa kesamaan
ideologi turut mempengaruhi negara-negara dalam membangun aliansi. Nye
mengistilahkan top dog dan underdog ideologi. Menurutnya, negara
akan cenderung untuk memilih negara dengan ideologi yang jamak digunakan oleh
dunia internasional seperti demokrasi. Namun, sama seperti Walt, Nye
beranggapan bahwa ideologi dapat menjadi sumber ancaman yang dapat menggangu
stabilitas. Hal ini dapat terlihat dalam pertarungan ideologi pada tahun
1960-an ketika Amerika Serikat mengancam
Cina, Unisoviet, Vietnam, dan Kamboja karena negara-negara tersebut menganut
ideologi komunis (Nye:1997, hal. 57-58).
Berbeda dengan Walt yang mengatakan
bahwa “...states form alliances to
balance against threats rather than bandwagon with them” menurut Lebow balancing dapat menyebabkan suatu negara
berkonflik dengan yang lain. Lebow mengatakan, “balancing could also intensify tensions and make war more likely
because of the imposibility of asessing with any certainty the motives,
capability, and resolve of other states. Leader understandably aim to achieve a
margin of safety, and when multiple states or opposing alliances act this way,
they ratchet up international tensions”. Dalam situasi ini menurut Lebow,
negara yang powernya sedang bangkit akan berperang ketika perang dianggap
sebagai sarana yang menguntungkan dan negara status quo cenderung untuk
merespon dengan perang preventif untuk mengatasi kekuatan the rising state (Lebow:2010, hal. 63). Hal ini dikarenakan pada
dasarnya beraliansi merupakan pilihan kebijakan suatu negara dalam merespon
ancaman eksternal.
Viotti dan Kauppi mengenalkan
terminologi voluntarinisme dan determinisme. Asumsi voluntarisme beranggapan
bahwa pilihan balance of power suatu
negara tidak terjadi dengan sendirinya sedangkan menurut asumsi determinisme,
pilihan suatu negara akan balance of
power pada hakikatnya terjadi dengan sendirinya meskipun apakah hal ini
diinginkan atau tidak. (Viotti dan Kauppi:2010, hal. 60). Terlepas dari hal
ini, Viotti dan Kauppi menekankan bahwa, “states
is rational and unitary actor that will use its capabilities to accomplish its
objectives, states inevitably interact and conflict in the competive
environment of international politic. States may motivated to improve their own
positions so as to dominate others, but such attempts likely will be countered
by other states similarly motivated”. Sehingga menurut mereka, balance of power lebih sering tidak
terjadi karena negara cenderung untuk melawan the rising state. Mereka melanjutkan bahwa sistem internasional yang
anarki akan mempengaruhi kalkulasi dan pilihan para pengambil kebijakan yang
ada di dalam suatu negara (Viotti dan Kauppi:2010, hal. 61).
Analisa terhadap
Tulisan Walt
Walt
adalah seorang struktural realisme atau neorealis karena dalam tulisan yang
ditulis oleh Walt ini, Walt menggunakan level struktur internasional sebagai
unit analisa. Metode yang digunakan oleh walt adalah dengan menggunakan metode
komparatif karena Walt tidak hanya
melihat bagaimana struktur tersebut terjadi pada suatu kawasan tetapi Walt juga
menganalisa bagaiamana struktur internasional terjadi di berbagai belahan dunia
seperti yang terjadi pada regional Eropa dan Timur Tengah. Selain itu, Walt
mencoba untuk menggabungkan dua pendekatan sebagai pisau analisa yakni
pendektan historik dan pendekatan kontemporer. Pendekatan historik yang
digunakan Walt adalah dengan melihat bagaimana struktur internasional yang
terjadi selama Perang Dunia I dan Perang Dunia II serta selama Perang Dingin.
Sementara, pendekatan kontemporer yang digunakan oleh Walt adalah dengan
memprediksi bagaimana kebijakan national
security Amerika Serikat pasca perang Dingin.
Tulisan
Walt mengafirmasikan betapa tulisan ini adalah sebuah benih pemikiran
neorealis. Dalam tulisannya, Walt meyimpulkan tiga hal penting. Pertama, negara
akan lebih memilih balancing dari
pada bandwagon. Kedua, ideologi
mempunyai dampak yang lemah terhadap bangkitnya suatu aliansi. Ketiga,
instrumen bribery dan penetration yang turut membentuk aliansi
tidak bisa menjamin aliansi sepenunya dapat terjaga karena pada dasarnya
kepentingan suatu negara berbeda dengan negara yag lain. (Walt:1995, hal.238).
Sistem internasional bersifat anarki, maka pendekatan realis yang mengatakan
bahwa state self help yang berarti
negara yang paling pertama harus menolong dirinya sendiri ketika terancam
adalah hal yang tak dapat dipungkiri. Karena ketiadaan aktor di atas negara
yang dapat mengatur perilaku negara (sifat anarki) maka dengan demikian pada
dasarnya hubungan internasional bersifat struggle
of power sehingga konflik pada dasarnya merupakan sesuatu yang tak dapat
dihindarkan. Mungkin ini sejalan dengan kutipan yang cukup populer, civis pacem para bellum, apabila kita
menginginkan perdamaian maka kita harus bersiap untuk perang.
Hal yang juga menarik adalah meskipun
Walt beranggapan bahwa ideologi dapat mendorong negara untuk beraliansi namun Walt
juga beranggapan bahwa ideologi tidak begitu berperngaruh dalam pembantukan
aliansi karena ideologi dapat membuat
negara-negara berkonflik (Walt:1995, hal. 229-231). Dalam hal ini dapat
dianalisa bahwa bukan berarti Walt tidak bermoral atau imoral tetapi Walt menegaskan bahwa realis pada dasarnya tidak
terlalu mementingkan pada aspek moral atau amoral. Dengan demikian, menurut
realis norma, ideologi, dan aturan sebenarnya hal yang juga berpengaruh di
dalam dinamika hubungan internasional. Meskipun pada dasarnya menurut realis,
negara adalah aktor yang paling utama yang bertindak secara rasional. Hal ini berarti, apapun yang dilakukan oleh suatu
negara adalah tindakan rasional. Argumentasi Walt pada tahun 1995 ini setidaknya
masih relevan hingga saat ini karena meskipun pada dasarnya ideologi demokrasi
dapat membuat negara-negara beraliansi tetapi kepentingan nasional suatu negara
cenderung membuat perilaku negara untuk tatap saling mencurigai satu sama lain
meskipun mereka dalam aliansi yang sama.
Walt mengatakan bahwa bantuan luar
negeri seperti bantuan eknomi dan militer tidak sepenuhnya menjamin
keharmonisan suatu aliansi (aid creates
allies). Selain karena beban yang tanggungan yang harus ditanggung oleh
negara pendonor yang tentunya melalui persetujuan melalui perundingan pada
level pengambil kebijakan di suatu negara, bantuan luar negeri sifatnya
terbatas dan bantuan yang diberikan belum tentu dapat memenuhi kebutuhan
domestik negara penerima. Apalagi bantuan tidak hanya didapat melalui aliansi
tetepi juga bisa di dapatkan dari negara-negara di luar aliansi. Hal ini
berarti jelas seperti yang ditegaskan oleh asumsi realis bahwa pada dasarnya
negara berperilaku karena dipengaruhi oleh kepentingan negaranya. Selama suatu
aliansi dapat mencapai common interest
maka aliansi dapat terjalin dengan baik.
Yang menjadi kekurangan Walt dalam
tulisan ini adalah Walt tidak memberikan rekomendasi bagaimana aliansi itu dapat
terjadi dalam kaitan antara negara yang
menjadi super power dan small power. Lebih jelasnya, Walt tidak
menjelaskan bagaimana aliansi itu harus terjadi, manakah yang lebih baik, satu super power, dua super power, atau multi super power yang dapat menjaga
kestabilan dalam beraliansi. Sehingga, hubungan antara super power dan small power
dalam beraliansi dapat menjadi hubungan yang tidak saling menguntungkan dan common security yang diharapkan dalam
suatu aliansi bisa saja tidak tercapai. Meskipun demikian, yang menarik adalah
bahwa menurut Walt ancaman mempengaruhi perilaku negara dalam bertindak, apakah
memilih untuk balancing atau bandwagoning, sehingga jelas bahwa
meskipun Walt tidak menjelaskan satu atau lebih super power yang sebaiknya diperlukan dalam beraliansi setidaknya balance of threat yang dikemukan oleh
walt dapat memberikan opsi bagaimana
balance of threat harus terjadi ketika tidak terjadi perang untuk menjaga
keseimbangan dalam struktur internasioal dan bagaimana negara seharusnya berperilaku terutama untuk
menghindari perang dalam dinamika hubungan internasional yang anarki dan self help.
Kesimpulan
Tulisan walt memberikan pemahaman
akan pentingnya aliansi dalam dinamika hubungan internasional. Walt memaparkan
tulisan ilmiah dengan penarikan kesimpulan yang logis dan sistematis. Tulisan
Walt masih relevan hingga saat ini dan dapat menjadi acuan dan opsi bagi
negara-negara dalam bertindak untuk dapat menjaga keseimbangan dalam struktur
internasional yang anarki sehingga keamanan atau perdamaian dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Lebow, Richard Ned. (2010) ‘Classical Realism’,
dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International Relation
Theories, Second Ed. New York: Oxford University Press.
Nye Jr., J. (1997). Understanding International
Conflict: an introduction to theory and history, Second Ed. New York:
Longman,
Viotti, P., & Kauppi, M. (2010). International
Relation Theory, Fourth Ed. New York: Pearson.
Walt, Stephen M. (1995) ‘Alliance Formation and the
Balance of World Power’, dalam Brown, Lynn-Jones, dan Miller. The Perils of
Anarchy: contemporary realism and international security, Cambridge: The
MIT Press.
No comments:
Post a Comment