oleh
PASKALIS ALFINOS TODA
Isu
pengungsi merupakan salah satu isu sensitif yang terjadi di Eropa. Soliditas
negara-negara Eropa secara khusus yang tergabung dalam Uni Eropa kian teruji
dengan adanya krisis kemanusiaan akibat isu pengungsi. Selain itu, Uni Eropa sebagai
institusi regional Eropa juga tengah mengalami permasalahan internal dengan
adanya keinginan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa. Perdana Menteri Inggris
David Cameron mendapatkan tekanan dari internal negaranya karena sebagian menteri
dan juga masyarakat Inggris mendesak agar Cameron melakukan referendum untuk
memutuskan apakah Inggris keluar dari Uni Eropa atau tidak. Adapun
kampanye-kampanye seperti BREXIT (British
Exit) santer terdengar di dalam internal negara Inggris.
Jumlah pengungsi yang datang dari
Timur Tengah ke Eropa sangat besar yakni mencapai lebih dari 2 juta jiwa. Uni
Eropa mendesak pemerintah Turki agar
menutup perbatasannya sehingga para pengungsi tidak dapat mencapai Eropa karena
Turki merupakan negara singgah bagi para pengungsi sebelum pergi ke Yunani dan
kemudian tersebar ke Eropa. Namun, pemerintah Turki di bawah Presiden Erdogan
menyodorkan proposal untuk mendapatkan dana dari Uni Eropa dengan imbalan Turki
akan membatasi jumlah penyebaran pengungsi. Pada November 2015, Uni Eropa
sepakat untuk memberikan dana sebesar 3 miliar Euro kepada Turki untuk
menangani permasalahan pengungsi namun
dana tersebut belum direalisasi. Hingga saat ini, porposal dana yang diminta
Turki meningkat menjadi 6 miliar Euro. Isu pengungsi di Eropa juga dijadikan
Turki sebagai momen untuk membahas wacana Turki untuk bergabung dengan Uni
Eropa karena Turki bukan merupakan anggota Uni Eropa.
Genesis Persolan
Persoalan
pengungsi di Eropa merupakan persolan yang kompleks. Seorang petinggi NATO
menuduh bahwa banyaknya pengungsi yang tersebar ke Eropa merupakan salah satu
strategi rezim Presiden Bashar Al Asad dan Rusia untuk melemahkan soliditas Uni
Eropa. Maka kemudian, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana terkait dengan
aspek kemanusian? Mengapa, negara-negara justru memainkan isu ini demi
kepentingan negaranya padahal para pengungsi ini merupakan orang-orang yang
termarjinalkan dari akses power misalnya kesehatan, keamanan, kesejahteraan dan
pendidikan.
Isu pengungsi di
Eropa harus juga dilihat melalui perspektif hulu dan hilir. Perlu diingat bahwa
para pengungsi yang datang ke Eropa justru terjadi karena intervensi militer
yang dilakukan oleh negara anggota Uni Eropa misalnya seperti Prancis, Inggris,
dan Jerman secara khusus di Suriah dalam meredam teroris ISIS. Bersama-sama
dengan AS, negara-negara-negara tersebut melakukan intervensi militer ke Suriah
dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dan kelompok oposisi Suriah dari
tindakan represif rezim Asad dan bahaya laten ISIS. Adapun negara Rusia yang
juga turut melakukan intervensi militer di Suriah karena memenuhi “undangan”
Presiden Asad.
Adanya perbedaan persepsi ancaman
antara negara-negara yang melakan intervensi militer di Suriah justru
membawakan dampak instabilitas pada kawasan Timur Tengah secara khusus bagi
kondisi domestik Suriah dan Irak. Instabilitas kawasan Timur Tengah juga dapat
dicermati dengan adanya ketengangan antara Arab Saudi dan Iran terkait dengan
politik identitas Sunni dan Syiah. Ketegangan kedua negara ini tampak di dalam
konflik domestik Yaman. Arab Saudi memberikan dukungan termasuk dukungan
militer terhadap Presiden Yaman Abdu Rabbu Mansour Hadi sedangkan Iran mendukung
pemberontak milisi Al Houthi yang merupakan kelompok pemberontak di Yaman.
Ketegangan di antara ke dua negara ini juga
semakin tajam ketika Arab Saudi melakukan eksekusi mati terhadap salah
satu ulama ternama Syiah yang berada di Arab Saudi.
Emansipasi
Terkait degan permasalahan pengungsi
maka kita berbicara mengenai kemanusiaan. Jalas bahwa mereka merupakan
orang-orang yang membutuhkan uluran tangan dan bantuan. Maka konsep emansipasi
merupakan salah satu konsep yang seharusnya menjadi kebijkan-kebijakan negara
Uni Eropa di dalam melakukan kebijakan terkait dengan penanganan permasalahan
pengungsi. Soliditas negara-negara Uni Eropa pun kian teruji karena ada
negara-negara Uni Eropa yang menutup perbatasan bagi pengungsi ke negara mereka
karena terkait dengan proteksi domestik dan alasan-alasan internal seperti
adanya ekonomi yang melemah dan lain sebagainya misalnya negara Austria, Slovenia, Kroasia. Adapun negara
yang bukan anggota Uni Eropa yang juga menutup perbatasannya bagi pengungsi
yakni negara Serbia. Menanggapi krisis kemanusiaan ini, Paus Fransiskus
mengatakan "Bagaimana
mungkin para anak-anak dan perempuan tak berdosa mengalami penderitaan seperti
itu? Mereka berada di perbatasan karena begitu banyak pintu dan hati yang
tertutup" (Kompas, 18
Maret 2016).
Semoga dengan adanya berbagai
pertemuan dan kesepakatan antara Uni Eropa dan Turki terkait dengan krisis
kemanusiaan di kawasan Eropa dan Timur tengah akan terdapat solusi yang win-win dan lebih populis dan
emansipatif. Selain itu, langkah Rusia untuk memulangkan kekuatan militernya di
Suriah merupakan salah satu angin segar bagi terwujudnya stabilitas kawasan di
Timur Tengah. Mengingat, AS dan beberapa negara kuat lainnya termasuk Rusia
sedang dalam proses membahas proses perdamaian di Suriah di Jenewa, Swiss yang
disponsori oleh PBB.
#allisFIne.
No comments:
Post a Comment