Review

Tuesday, March 29, 2016

MENANGKAL ISIS



Oleh

Paskalis Alfinos Toda


We know who we are only when we know who we are not and often only when we know whom we are against” (Samuel Huntington)
Dalam pandangan realis negara merupakan aktor dominan  (state as unitary actor).  Hubungan antarnegara dimaknai sebagai power relation. Selama perang dingin (cold war) yang ditandai dengan  rivalitas antara dua superpower Amerika Serikat dan Unisoviet, kajian traditional security seperti ancaman militer dan ancaman perang menjadi isu high politic. Sistem internasional dipahami sebagai sistem bipolar. Negara-negara terdikotomi ke dalam blok ideologi liberal yang dipimpin oleh Amerika Serikat  (blok barat) dan  komunis yang diusung oleh Unisoviet (blok timur). Pasca perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya tembok  Berlin dan kolapsnya Unisoviet menjadi Rusia ,sistem bipolar mulai berubah. Pada saat ini muncul polar-polar baru seperti Brazil, Afrika Selatan, India, Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan. Meskipun terdapat polar-polar baru masih terdapat hegemoni Amerika Serikat sebagai pemenang perang dingin sehingga sistem internasional masih dapat dilihat dalam bentuk unimultipolar.
Dalam pandangan Weberian negara dianggap sebagai aktor dominan. Kemudian menurut Hobbesian state of nature negara ditandai dengan adanya hubungan konfliktual dan anarkis.  Meskipun negara masih dianggap sebagai aktor dominan Rosenau menyebut era saat ini ditandai dengan adanya “shifting boundaries, relocated authorities, weakened states, and proliferating nongovernmental organizations...” (2006:111). Bahkan Wendt mengatakan bahwa ,”anarchy is what states make of it” (1992: 132). Pasca perang dingin, negara tidak lagi menjadi aktor tunggal di dalam konstelasi politik global tetapi muncul aktor-aktor lain  secara khusus aktor non state
ISIS dan Kedaulatan Negara 
Era globalisasi memunculkan fenomena uniformitas dan similiartitas di berbagai belahan dunia.  Generalisasi sempit yang dapat ditarik adalah the world is flat. Konstelasi politik global semakin kompleks terlebih munculnya kajian kemanan non tradisonal seperti permasalahan lingkungan hidup, penyakit menular, dan perubahan iklim.  Hall dan Biersteker beranggapan bahwa otoritas yang dimiliki oleh negara merupakan otoritas publik. Saat ini, otoritas publik telah berdapan dengan otoritas privat yang muncul dari aktor-aktor non negara. Terdapat tiga jenis otoritas privat (private authority) menurut mereka yakni otritas pasar (market authority), otoritas moral (moral authority), dan otoritas haram (illicit authority). ISIS tergolong ke dalam illicit authority karena otoritas ini berbentuk organisasi kekerasan (2004:16). 
Timbulnya terorisme dapat disebabkan karena negara gagal (fail state) dan negara lemah (weak  state). Atau dengan kata lain state insecurity memberikan  spill over effect bagi human bahkan individual insecurity.  Pandangan traditional security menitikberatkan pada state centric. Bahaya laten ISIS haruslah membuka atensi negara  agar memperhatikan  non traditional security  bahkan pada level yang mikro human security karena state insecuriry dapat membawa efek domino pada human insecurity.  Kehadiran ISIS di Irak dan Suriah terjadi karena kedua negara ini tengah berada pada instabilitas dalam hal politik, ekonomi, dan sosial yang massif (state insecurity). Sehingga muncul masalah-masalah yang mendahului sebelum ISIS lahir. Misalnya adanya kelompok separatis, konflik sekterian, dan bahkan konflik sosial yang mendatangkan korban jiwa dan materi. 
Deideologi Fukuyama 
Fukuyama berangapan bahwa pada saat ini tidak ada satupun ideologi yang dapat menandingi liberalisme. Akhir dari sejarah (the end of history) menurutnya ditandai dengan adanya homogenitas negara dalam praktik demokrasi liberal  dalam  politik dan ekonomi. Meskipun demikian akhir dari sejarah tidak berarti akhir dari konflik material dan konflik ideologi. Sehingga menurutnya, pada saat ini kita hidup di dalam era deidelogi (1989:282). Lantas bagaimana dengan ekistensi ISIS dengan idelogi takfirinya yang menganggap kelompok lain kafir?Berdasarkan pola tindakan  ISIS merupakan organisasi terorisme yang berifat hybird karena ISIS menggunakan kekuatan militeristik yang destruktif dan peran media elektronik dalam memperbesar pengaruhnya. Yang menarik adalah ISIS menggunakan sarana media sosial seperti Facebook, Twitter dan Youtube. ISIS justru menggunakan produk-produk liberal yang biasanya ‘enggan’ digunakan oleh kelompok-kelompok fundamentalis dan radikal. Sehingga asumsi Fukuyama bahwa tidak ada ideologi yang dapat menandingi liberalisme ada benarnya juga karena toh ISIS menggunakan produk liberal.
Selain itu, eksistensi ISIS berupaya untuk mendekonstruksi sistem Khalifa di dalam sistem internasional kontemporer. ISIS menantangi konstruksi sistem internasional saat ini yang menempatkan negara sebagai aktor utama semenjak perjanjian perdamaian Whestphalia tahun 1648.  Meskipun negara bukanlah lagi aktor tungal tetapi negara merupakan aktor yang sangat penting di dalam politik global. Konklusi sederhana yang dapat ditarik adalah ISIS jelas merupakan ancaman nyata bagi kedaulatan suatu negara.
Meng-counter ISIS
Upaya  dalam mereduksi ISIS dapat dilakukan dengan upaya coercive dan dettrence melalui sistem pertahanan dan keamanan negara (hard power). Namun yang tidak kalah penting adalah meng-counter ISIS dapat dilakukan dengan adanya civic engagement. Menurut penulis, meskipun ISIS merupakan ancaman nyata bagi negara tetapi ISIS juga menjadi ancaman serius bagi masyarakat (society). ISIS memberikan efek social panic bagi masyarakat karena ISIS sangat massif dalam mem-blow up kekejamannya dan menyebarluaskan pengaruhnya melalui media elektronik  mainstream seperti Facebook, Twitter, dan You Tube. Castells menyebut pola komunikasi saat ini sebagai self mass communication (2012:8). Pengiriman komunikasi ini bersifat many to many dan menjangkau kepada multiplicity of receiver melalui jaringan internet dan jaringan tanpa kabel. Peran negara penting dalam pemblokiran dan memfilter akun-akun media elektronik yang radikal dan amoral. 
Selain itu,  perlu adanya ekskalasi kesadaran civil society dalam membuat counter opinion dan penyebaran nilai dan norma melalui media sosial karena ISIS menggunakan mekanisme yang sama dalam mensporadiskan pengaruh. Ada beberapa tindakan preventif dan kuratif yang dapat dilakukan oleh civil society. Pertama, terus mengkonstruksikan pemahaman ideologi Pancasila sebagai the living ideology Indonesia secara khusus melalui media sosial. Kedua, peranan pemuka agama dalam mengajarkan nilai-nilai kasih dan kebajikan sehingga agama tidak dipolitisasi atau menjadi agama politis. Ketiga, peranan civil society untuk membentuk gerakan dan jejaring pada level sub state pada tingkatan lokal dan provinsial sebagai third sector dalam membantu usaha negara membendung pengaruh ISIS di bumi pertiwi. Civil society penting dalam menjalankan fungsi watch dog. Bagaimana pun juga idea’s matter di dalam konstelasi politik domestik maupun global atau seperti kata Castells, “power are people’s mind” (2010:425). Dengan semakin terbukanya ruang diskursus dan deliberatif seperti yang diharapkan Habermas, semoga penyelesaian masalah ISIS dapat terjadi tanpa adanya pertumpahan darah tetapi lebih kepada pendekatan soft power.
#AllisFine

No comments:

Post a Comment