Oleh
Paskalis Alfinos Toda
“We know who we are only
when we know who we are not and often only when we know whom we are against” (Samuel
Huntington)
Dalam pandangan
realis negara merupakan aktor dominan (state as unitary actor). Hubungan antarnegara dimaknai sebagai power relation. Selama perang dingin (cold war) yang ditandai dengan rivalitas antara dua superpower Amerika Serikat dan Unisoviet, kajian traditional security seperti ancaman
militer dan ancaman perang menjadi isu high
politic. Sistem internasional dipahami sebagai sistem bipolar.
Negara-negara terdikotomi ke dalam blok ideologi liberal yang dipimpin oleh
Amerika Serikat (blok barat) dan komunis yang diusung oleh Unisoviet (blok
timur). Pasca perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin dan kolapsnya Unisoviet menjadi Rusia ,sistem
bipolar mulai berubah. Pada saat ini muncul polar-polar baru seperti Brazil,
Afrika Selatan, India, Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan. Meskipun terdapat
polar-polar baru masih terdapat hegemoni Amerika Serikat sebagai pemenang
perang dingin sehingga sistem internasional masih dapat dilihat dalam bentuk unimultipolar.
Dalam pandangan
Weberian negara dianggap sebagai aktor dominan. Kemudian menurut Hobbesian state of nature negara ditandai dengan
adanya hubungan konfliktual dan anarkis. Meskipun negara masih dianggap sebagai aktor
dominan Rosenau menyebut era saat ini ditandai dengan adanya “shifting boundaries, relocated authorities,
weakened states, and proliferating nongovernmental organizations...” (2006:111).
Bahkan Wendt mengatakan bahwa ,”anarchy
is what states make of it” (1992: 132). Pasca perang dingin, negara tidak
lagi menjadi aktor tunggal di dalam konstelasi politik global tetapi muncul
aktor-aktor lain secara khusus aktor non state.
ISIS dan Kedaulatan Negara
Era globalisasi
memunculkan fenomena uniformitas dan similiartitas di berbagai belahan dunia. Generalisasi sempit yang dapat ditarik adalah the world is flat. Konstelasi politik
global semakin kompleks terlebih munculnya kajian kemanan non tradisonal
seperti permasalahan lingkungan hidup, penyakit menular, dan perubahan iklim. Hall
dan Biersteker beranggapan bahwa otoritas yang dimiliki oleh negara merupakan
otoritas publik. Saat ini, otoritas publik telah berdapan dengan otoritas
privat yang muncul dari aktor-aktor non negara. Terdapat tiga jenis otoritas
privat (private authority) menurut
mereka yakni otritas pasar (market
authority), otoritas moral (moral
authority), dan otoritas haram (illicit
authority). ISIS tergolong ke dalam illicit
authority karena otoritas ini berbentuk organisasi kekerasan (2004:16).
Timbulnya
terorisme dapat disebabkan karena negara gagal (fail state) dan negara lemah (weak state). Atau dengan kata lain state insecurity memberikan spill
over effect bagi human bahkan individual insecurity. Pandangan traditional
security menitikberatkan pada state
centric. Bahaya laten ISIS haruslah membuka atensi negara agar memperhatikan non
traditional security bahkan pada
level yang mikro human security
karena state insecuriry dapat membawa
efek domino pada human insecurity. Kehadiran ISIS di Irak dan Suriah terjadi
karena kedua negara ini tengah berada pada instabilitas dalam hal politik, ekonomi,
dan sosial yang massif (state insecurity).
Sehingga muncul masalah-masalah yang mendahului sebelum ISIS lahir. Misalnya
adanya kelompok separatis, konflik sekterian, dan bahkan konflik sosial yang
mendatangkan korban jiwa dan materi.
Deideologi Fukuyama
Fukuyama
berangapan bahwa pada saat ini tidak ada satupun ideologi yang dapat menandingi
liberalisme. Akhir dari sejarah (the end of
history) menurutnya ditandai dengan adanya homogenitas negara dalam praktik
demokrasi liberal dalam politik dan ekonomi. Meskipun demikian akhir
dari sejarah tidak berarti akhir dari konflik material dan konflik ideologi.
Sehingga menurutnya, pada saat ini kita hidup di dalam era deidelogi (1989:282).
Lantas bagaimana dengan ekistensi ISIS dengan idelogi takfirinya yang
menganggap kelompok lain kafir?Berdasarkan pola tindakan ISIS merupakan organisasi terorisme yang
berifat hybird karena ISIS menggunakan
kekuatan militeristik yang destruktif dan peran media elektronik dalam memperbesar
pengaruhnya. Yang menarik adalah ISIS menggunakan sarana media sosial seperti Facebook, Twitter dan Youtube. ISIS
justru menggunakan produk-produk liberal yang biasanya ‘enggan’ digunakan oleh
kelompok-kelompok fundamentalis dan radikal. Sehingga asumsi Fukuyama bahwa
tidak ada ideologi yang dapat menandingi liberalisme ada benarnya juga karena
toh ISIS menggunakan produk liberal.
Selain itu, eksistensi
ISIS berupaya untuk mendekonstruksi sistem Khalifa di dalam sistem
internasional kontemporer. ISIS menantangi konstruksi sistem internasional saat
ini yang menempatkan negara sebagai aktor utama semenjak perjanjian perdamaian
Whestphalia tahun 1648. Meskipun negara
bukanlah lagi aktor tungal tetapi negara merupakan aktor yang sangat penting di
dalam politik global. Konklusi sederhana yang dapat ditarik adalah ISIS jelas
merupakan ancaman nyata bagi kedaulatan suatu negara.
Meng-counter
ISIS
Upaya dalam mereduksi ISIS dapat dilakukan dengan
upaya coercive dan dettrence melalui sistem pertahanan dan
keamanan negara (hard power). Namun
yang tidak kalah penting adalah meng-counter
ISIS dapat dilakukan dengan adanya civic
engagement. Menurut penulis, meskipun ISIS merupakan ancaman nyata bagi
negara tetapi ISIS juga menjadi ancaman serius bagi masyarakat (society). ISIS memberikan efek social panic bagi masyarakat karena ISIS
sangat massif dalam mem-blow up kekejamannya
dan menyebarluaskan pengaruhnya melalui media elektronik mainstream
seperti Facebook, Twitter, dan You Tube. Castells menyebut pola komunikasi saat ini sebagai self mass communication (2012:8).
Pengiriman komunikasi ini bersifat many
to many dan menjangkau kepada multiplicity
of receiver melalui jaringan internet dan jaringan tanpa kabel. Peran
negara penting dalam pemblokiran dan memfilter akun-akun media elektronik yang
radikal dan amoral.
Selain itu, perlu adanya ekskalasi kesadaran civil society dalam membuat counter opinion dan penyebaran nilai dan norma melalui media sosial karena
ISIS menggunakan mekanisme yang sama dalam mensporadiskan pengaruh. Ada
beberapa tindakan preventif dan kuratif yang dapat dilakukan oleh civil society. Pertama, terus mengkonstruksikan
pemahaman ideologi Pancasila sebagai the
living ideology Indonesia secara khusus melalui media sosial. Kedua,
peranan pemuka agama dalam mengajarkan nilai-nilai kasih dan kebajikan sehingga
agama tidak dipolitisasi atau menjadi agama politis. Ketiga, peranan civil society untuk membentuk gerakan
dan jejaring pada level sub state
pada tingkatan lokal dan provinsial sebagai third
sector dalam membantu usaha negara membendung pengaruh ISIS di bumi
pertiwi. Civil society penting dalam
menjalankan fungsi watch dog. Bagaimana
pun juga idea’s matter di dalam
konstelasi politik domestik maupun global atau seperti kata Castells, “power are people’s mind” (2010:425).
Dengan semakin terbukanya ruang diskursus dan deliberatif seperti yang
diharapkan Habermas, semoga penyelesaian masalah ISIS dapat terjadi tanpa
adanya pertumpahan darah tetapi lebih kepada pendekatan soft power.
#AllisFine
#AllisFine
No comments:
Post a Comment