Review

Tuesday, March 29, 2016

REVIEW : KONSTRUKTIVISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL



Judul Buku
Castells, Manuel. 2010. The Power of Identity: second edition with a new preface. West Sussex: Blackwell Publishing.
Ringkasan Review         
            Review ini membahas mengenai tulisan Manuel Castells mengenai kekuatan identitas yang terjadi pada masyarakat di berbagai belahan dunia. Identitas pada dasarnya adalah sumber makna dan pengalaman masyarakat. Identitas merupakan proses konstruksi dari sifat budaya baik yang berasal dari seorang individu maupun dari berbagai aktor sehingga membantuk identitas yang prural. Identitas masyarakat kini berkembang pesat di era globalisasi. Di era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi membawa polemik dalam berbagai segi kehidupan masyarakat dunia. Di suatu sisi, globalisasi berdampak positif namun di sisi yang lain, globalisasi memberikan dampak negatif. Kedua hal ini berimplikasi terhadap kompleksitas di berbagai segi kehidupan manusia yang berdampak pada dinamika kontelasi hubungan internasional. Segala bentuk identitas, norma, dan aturan-aturan dapat dikonstruksi oleh masyarakat dan mempengaruhi perilaku masyarakatnya melalui proses internasionalisasi dan institunasionalisasi baik yang dilakukan oleh aktor negara maupun aktor nonnegara.
Pada abad ke-21 terjadi peningkatan jaringan antar masyarakat dan tumbuhnya kekuatan identitas antar masyarakat. Kedua hal ini berjalan bersamaan seiring dengan terjadinya globalisasi dan perkembangan teknologi yang berdampak pada transformasi atas negara, politik, dan demokrasi. Perkembangan teknologi komunikasi elektronik seperti internet turut membentuk identitas individual dan identitas kolektif dalam tatanan kehidupan suatu masyarakat. Pada era globalisasi, masyarakat antar berbagai macam negara dan berbagai suku bangsa semakin terhubung satu satu sama lain sejalan dengan peningkatan kamujuan di bidang teknologi informasi. Negara menjadi sumber di mana kesejahteraan, teknologi, dan informasi serta power mengglobal. Contoh yang paling nyata dapat terlihat adalah dengan terintegrasinya Eropa ke dalam organisasi antar negara Uni Eropa. Dengan eksistensi Uni Eropa berarti negara-negara yang tergabung di dalam Uni Eropa memberikan sebagian kedaulatannya demi tercapainya identitas bersama sebagai suatu oganisasi intra kawasan.
Semakin mengglobalnya dunia membuat suatu masyarakat yang ada di suatu negara merasa menjadi semakin lokal. Hal ini berdampak pada kehidupan  bermasyarakat di dalam suatu negara. Misalnya, munculnya kekuatan identitas dalam bentuk  fundamentalisme agama seperti jaringan teroris Al Qaeda, munculnya gerakan agama sebagai sumber konflik sosial dan perubahan sosial, dan timbulnya kritik terhadap budaya patriarki oleh gerakan lesibian dan gay. Timbulnya permasalahan yang semakin kompleks dalam internal suatu negara pada saat yang sama membuat mengglobalnya suatu permasalahan domestik. Dalam hal ini, perkembangan teknologi komunikasi seperti internet memberikan pengaruh yang besar terhadap berkembangnya arus informasi.
Pengaruh agama menjadi hal yang juga penting dalam membentuk kekuatan identitas suatu masyarakat. Kini, manusia hidup di dalam sebuah planet Tuhan, di Bumi. Hanya 15 persen dari masyarakat di dunia ini yang tidak beragama atau ateis sedangkan antara tahun 1990 dan 2000, pemeluk agama Kristen meningkat rata-rata 1,36 persen per tahun. Pada tahun 2000, pemeluk agama Kristen mencapai kira-kira 33 persen dari total populasi dunia serta pemeluk agama Muslim meningkat dari angka 2,13 persen per tahun mencapai 19,6 persen dari total populasi dunia. Pemeluk agama Hindu mengalami pertumbuhan sebesar 1,69 persen setiap tahunnya dan mencapai 13,4 persen dari total populasi dunia dan pemeluk agama Budha mengalami pertumbuhan sebesar 1,09 per tahun dan mencapai 5,9 persen dari total populasi dunia.
Meningkatnya pertumbuhan agama pada saat yang sama berdampak pada lahirnya fundamentalisme agama dan militansi agama di berbagai negara. Misalnya kelompok terorisme Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang mempunyai banyak jaringan di berbagai negara dan membuat terorisme menjadi aktor baru yang turut mempengaruhi dinamika hubungan internasional, jaringan Hizbullah di Libanon, Kelompok Hamas di Palestina, dan Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan bangkitnya kelompok neokonservatif di Amerika Serikat pada era Presiden George Walker Bush junior.
Perbandingan Tulisan Manuel Castells
            Castells beranggapan bahwa meskipun identitas biasanya berasal dari seorang individu ataupun kelompok masyarakat melalui kebudayaan, tetapi menurutnya identitas dapat berasal dari institusi yang dominan. Hal ini akan terjadi apabila aktor-aktor sosial menginternalisasi dan mengkonstruksi identitas tersebut.[1] Atas dasar ini, Castells membagi tiga bentuk identitas yakni identitas legitimasi, identitas resisten, dan identitas proyek.[2] Sejalan dengan Castells, menurut Barnett, kebudayaan memberikan arti dan mempengaruhi masyarakat dalam bertindak. Namun menurutnya, karena kebudayaan itu beragam dan masyarakat mempunyai interpretasi yang berbeda maka masyarakat dunia harus menyadari akan adanya perbedaan ini.[3]  
Castells beranggapan bahwa identitas, norma, ide, dan aturan tidak hanya dapat dikonstruksikan oleh aktor negara tetapi juga aktor nonnegara. Viotti dan Kauppi mempunyai pendapat yang sama bahwa identitas juga dapat dikonstruksikan oleh aktor negara dan nonnegara namun mereka menambahkan bahwa pengaruh identitas dapat disebarkan melalui dua jalur yakni melalui domestik suatu negara dan yang berasal dari eksternal suatu negara. Yang berasal dari dalam suatu negara dapat berupa bentuk aspek budaya yang lebih luas dalam hal sosial dan militer. Identitas juga dapat dipengaruhi oleh aspek ras, gender, nasionalisme, agama, dan ideologi. Sedangakan, dari faktor eksternal, identitas dapat berasal dari norma-norma internasional yang dapat membentuk identitas suatu negara dan mempengaruhi relasi antara suatu negara dengan negara yang lain.[4] Menurut Fierke, norma, aturan, dan bahasa merupakan hal yang penting pasca perang dingin antara Amerika Serikat dan Unisoviet. Dengan berakhirnya perang dingin, isu-isu dunia internasional lebih dapat dikaji secara lengkap dan mempunyai penjelasan yang lebih tepat yakni dengan melihat bagaimana faktor-faktor ideasional dapat dikonstruksi dalam kemungkinan yang berbeda dan hasil yang berbeda.[5]
 Viotti dan Kauppi memberikan istilah intersubjektif dan institunasionalisasi. Menurut mereka, konstruktivis melihat politik internasional dituntun oleh intersubjektif yang berarti komponen-komponen ideasional dibagi oleh masyarakat ke masyarakat dan institunasionalisasi berarti ide-ide kolektif seperti norma, aturan, kepercayaan, dan nilai dibangun dan dikonstitusikan oleh dunia sosial sebagai sturktur atau institusi, perbuatan, dan identitas.[6] Barnett menambahkan bahwa ide didefinisikan oleh struktur internasional dan bagaimana aktor negara dan aktor non negara kembali mereproduksi struktur tersebut dan pada suatu saat mengubah struktur tersebut.[7]  Sejalan dengan Castells dan Barnett, Viotti dan Kauppi mempunyai argumentasi serupa terkait dengan identitas. Pertama, menurut mereka konstruktivis mencari permasalahan dari identitas dan kepentingan dari negara. Kedua, konstruktivis memandang sturuktur internasional dalam istilah struktur sosial yang menanamkan faktor-faktor ide mencakup  norma, aturan, dan hukum. Ketiga, konstruktivis memandang dunia sebagai proyek yang yang senantiasa mendapatkan perlawanan.[8]
Analisa terhadap Tulisan Manuel Castells
            Castells memberikan pemaparan yang komprehensif mengenai  kekautan identitas dalam dunia internasional kontemporer.  Metode yang digunakan oleh Castells adalah dengan menggunakan metode komparatif yakni Castells mencoba memahami bagaimana identitas yang dimiliki oleh masyarakat di suatu negara menjadi kekuatan dengan melihat pada konteks sejarah dan pada konteks dunia kontemporer.
            Yang menarik dari buku Castells ini adalah Castells memberikan afirmasi pada situasi dunia saat ini khususnya melalui titik tolak dunia pasca perang dingin (post cold war) antara Amerika Serikat dan Unisoviet serta konstelasi politik global pasca peristiwa 9 September 2001 di mana terjadinya serangan teroris terhadap Amerika Serikat. Peristiwa 9/11 ini yang pada akhrinya membuat Amerika menginvasi Afganistan pada tahun 2001 dan Irak pada tahun 2003 atas nama perang melawan teror (war on terror). Tindakan Amerika Serikat ini menurut Castells merupakan bentuk counter offensive atas perilaku teroris yang mengancam domestik Amerika. Di lain sisi, menurut Castells, tindakan invasi Amerika Serikat merupakan bentuk usaha Amerika Serikat untuk mengembalikan bentuk unilateral Amerika dalam urusan internasional.[9]
Castells memaparkan bahwa negara saat ini hidup di dalam era globalisasi yang ditandai dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang massif. Hal ini membuat negara-negara dan khususnya masyarakat yang ada di suatu negara dengan masyarakat di negara lain semakin terkoneksi satu sama lain. Terkait dengan hal ini, Castells memberikan istilah informational politic atau politik informasi. Dalam politik informasi, media memiliki peranan yang sangat penting namun demikian menurut Castells media tetap mempunyai kelemahan karena sifat media yang beragam dan orientasi bisnis yang berbeda pula.[10] Karena itu menurut Castells, dunia tidaklah datar kecuali negara superpower meratakan melalui ekonomi dan kekuatan militer.
Dimana letak power menurut Castells dalam konstruktivis?  Castells mengatakan bahwa, “power still rules society; it still shapes, and dominates us”.  Ada tiga power yang mempengaruhi dunia saat ini menurut Castellls. Pertama, institusi (negara), organisasi (perusahaan kapitalis), dan pengontrol simbolis (seperti perusahaan, media, dan gereja). Sumber-sumber power ini dapat saja bertahan lama ataupun dapat memudar. Namun saat ini terdapat sumber power yang baru yang terdapat pada kode-kode informasi dan pada gambar yang mewakili dimana masyarakat mengatur institusi mereka dan masyarakat membangun kehidupan mereka, dan memutuskan perilaku mereka. Tempat power ini adalah pada pikiran manusia.[11]  Pikiran manusia yang menjadi sumber power yang baru ini yang pada akhirnya membuat manusia berpikir apakah menyetujui globalisasi atau menolak globalisasi? Pikiran manusia menghasilkan kekuatan feminisme dan enviromentalis, nasionalisme, dan fundamentalisme agama. Hal ini berarti sumber-sumber ide seperti agama, nilai, norma, dan aturan menjadi hal yang sangat penting dalam konstelasi hubungan internasional dan internal domestik suatu negara. Di era globalisasi membuat dunia semakin kecil dan arus informasi berkembang dengan sangat cepat yang dapat mempengaruhi suatu masyarakat untuk mengkonstruksikan identitas mereka. Kukuatan ide membentuk kontruksi pemahaman suatu negara akan dunia yang dia punya dengan demikian preferensi suatu negara untuk berperang atau memilih utuk damai bergantung pada ide yang dianut oleh negara tersebut.                                                                                                                                                                                                               
Kesimpulan
            Tulisan Castells memberikan pemahaman yang komprehensif dalam perkembangan hubungan internasional saat ini. Castells memberikan analisa yang tajam dengan membuat perbandingan antara pendekatan historis dengan pendekatan kontemporer dan pada akhirnya mengerucut pada konklusi terkait dengan kekuatan identitas dalam konstelasi politik internasional dewasa ini. Tulisan ini dapat membantu pembaca dalam menyikapi dan memahami bagaimana norma, aturan, dan ide dikonstruksi oleh suatu masyarakat melalui penyebaran pengaruh khususnya oleh aktor negara dan aktor nonnegara.
            Ketergantungan antar negara saat ini sangatlah tinggi, interkonektivitas antara masyarakat yang berada di suatu negara dengan negara yang lain semakin erat. Dengan demikian, konstelasi hubungan internasional akan semakin kompleks dan negara yang menjadi salah aktor utama dalam hubungan internasiomal harus benar-benar dapat mengkonstruksikan apa yang menjadi nilai, norma, aturan, dan ide yang berasal dari dalam negara tersebut. Dengan demikian, suatu negara dapat bertahan di era globalisasi seperti saat ini.    



DAFTAR PUSTAKA
Barnett,Michael. (2008) ‘Social Constructivism’, dalam John Baylis, Steve Smith, dan Patricia Owens. An Introduction to International Relation, Fourth Ed. New York: Oxford.
Castells, Manuel. (2010). The Power of Identity: second edition with a new preface. West Sussex: Blackwell Publishing.
Fierke, K. M. (2010) ‘Constructivism’, dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International Relation Theories, Second Ed. New York: Oxford University Press.
Viotti, P., & Kauppi, M. (2010). International Relation Theory, Fourth Ed. New York: Pearson.



[1] Manuel Castells. (2010). The Power of Identity: second edition with a new preface. West Sussex: Blackwell Publishing. Hal. 7.
[2] Ibid.Hal.  8.
[3] Michael Barnett. (2008) ‘Social Constructivism’, dalam John Baylis, Steve Smith, dan Patricia Owens. An Introduction to International Relation, Fourth Ed. New York: Oxford. Hal. 164.
[4] Paul R. Viotti dan Mark V.  Kauppi. (2010). International Relation Theory, Fourth Ed. New York: Pearson. Hal. 286.
[5] K.M. Fierke. (2010) ‘Constructivism’, dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International Relation Theories, Second Ed. New York: Oxford University Press. Hal. 179-180.
[6] Viotti dan Kauppi, Op. Cit., Hal. 280.
[7] Barnett, Op. Cit., Hal. 162
[8] Viotti dan Kauppi, Op.Cit., Hal. 277.
[9] Castells, Op. Cit., Hal. xxxi.
[10] Ibid. Hal. Xxxii.
[11] Ibid. Hal. 424-425.

REALISME DALAM HUBUNGN INTERNASIONAL



Ringkasan Review
Review ini membahas tulisan Stephen M. Walt tentang Alliance Formation and the Balance of World Power. Tulisan Walt ini merupakan analisa teoritis Walt terhadap perkembangan dinamika konstelasi politik global pasca Perang Dingin terutama setelah berubahnya kekuatan bipolar sistem yang didominasi oleh Amerika Serikat dan Unisoviet. Dalam tulisan ini juga walt memaparkan bagaimana kebijakan keamanan nasional Amerika Serikat (national security policy) dalam dinamika hubungan internasional pasca perang dingin.
Dalam merespon ancaman yang datang dari luar, suatu negara dapat membentuk aliansi dengan negara lain. Dalam pemikiran tradisioal, pada dasarnya negara beraliansi untuk menghindari dominasi negara super power. Negara cenderung beraliansi dari pada melawan super power karena super power cenderung menggunakan power yang dimiliki untuk menekan negara yang melawan. Persepsi ancaman suatu negara akan mempengaruhi preferensi suatu negara untuk beraliansi dengan negara lain. Dalam beraliansi dengan negara lain, suatu negara dapat memilih untuk balance (beraliansi untuk melawan negara yang menjadi sumber utama ancaman) dan bandwagon (beraliansi dengan negara yang berlagak sebagai sumber ancaman)..
Implikasi yang terjadi apabila negara memilih balancing atau bandwagoning akan membuat negara mengumpulkan power yang dimiliki (aggregate power) sehingga power dapat digunakan untuk menghukum suatu negara yang berada luar aliansi atau sebagai ganjaran (reward) bagi negara yang beraliansi. Kedua, terjadinya proximate power. Ini berarti bahwa power digunakan oleh negara yang beraliansi secara proksi untuk memenuhi kebutuhan negara-negara yang beraliansi. Dalam hal proximate power, jarak geografis menjadi hal yang sangat mempengaruhi dalam pendistribusian power. Ketiga, Offensive Power. Negara dengan power ofensif akan cenderung membuat suatu aliansi dibandingkan negara lemah yang cenderung mempunyai power defensif. Keempat, Offensive Intentions. Negara yang agresif cenderung untuk memprovokasi negara yang memilih balancing untuk melawan negara tersebut. Hal dapat membuat negara lain untuk memilih bandwagon dengan negara yang agresif tersebut dan dapat terjadi keseimbangan dengan negara yang memilih balancing.
Selain dikarenakan oleh ancaman eksternal, aliansi juga dapat terjadi karena adanya kebangkitan kekuatan dalam suatu regional atau kawasan. Kebangkitan kekuatan regional akan merubah keseimbangan dalam suatu kawasan sehingga konflik antar negara bisa saja terjadi di dalam kawasan tersebut. Keseimbangan dibutuhkan agar keamanan di dalam kawasan tersebut dapat terjaga sehingga tidak terjadi dominasi oleh the rising power pada suatu kawasan.  Ideologi juga dapat mempengaruhi preferensi suatu negara untuk beraliansi. Afinitas ideologi cenderung membuat negara-negara untuk beraliansi karena adanya kesamaan dalam karakter politik domestik suatu negara. Kesamaan ideologi memberikan dampak psikologis bagi entitas yang ada di dalam negara khsusnya mempengaruhi psikologi para pengambil kebijakan. Meskipun demikian, Walt juga menegaskan bahwa ideologi juga dapat menjadi sumber konflik bagi bagi negara misalnya seperti pada masa Perang Dingin antara idelogi demokrasi yang diemban oleh Amerika serikat dan ideologi komunis yang diemban oleh Uni Soviet. Atau seperti ideologi Pan Arabisme yang diprakarsai oleh Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser untuk menyatukan dunia Arab dalam melawan Israel dan imperialisme barat. Dari dua kasus ini, ideologi tidak sepenuhnya dapat menjadi menjamin akan memberikan dampak konstruktif terhadap keamanan negara. Singkatnya, apabila ideologi dapat menjadi alasan negara untuk beraliansi maka negara yang memiliki ideologi yang berbeda akan dianggap sebagai musuh.
 Instrumen dalam pembentukan aliansi dapat dilakukan dengan bribery dan penetration. Dengan instrumen bribery (penyuapan), aliansi akan semakin efektif dengan adanya bantuan ekonomi dan bantuan luar negeri- the more aid, the tighter resulting alliance. Hal ini sejalan dengan gagasan yang menyebutkan bahwa aids creates allies. Semakin banyak bantuan negara pendonor yang biasanya memiliki power yang besar kepada negara penerima, akan membuat aliansi berjalan dengan efektif karena kebutuhan negara penerima dapat terpenuhi. Tetapi  instrumen bantuan juga mempunyai kelemahan karena bantuan sifatnya terbatas dan negara penerima dapat menerima bantuan darimana saja, selain dari negara-negara yang beraliansi. Selain itu, negara yang menerima bantuan yang paling besar cenderung untuk melawan negara pendonor karena biasanya negara pendonor mempunyai kepentingan yang besar pada negara yang mendapatkan bantuan terbesar. Hal ini membuat adanya kemungkinan negara yang mendapatkan bantuan terbesar untuk melawan negara pendonor. Dengan instrumen penetration, aliansi digunakan untuk mempengaruhi kebijakan domestik suatu negara. Hal ini dapat dilakukan melalui media lobbi dan propaganda.
Perbandingan Tulisan Walt
Menurut Walt, aliansi dapat terbentuk karena adanya ancaman. Konsekuensi lanjut dari hal ini adalah adanya preferensi suatu negara untuk memilih balancing atau bandwagon. Asumsi Walt ini dapat disederhanakan menjadi istilah balance of thereating. Walt mengartikan balance sebagai ally in opposition to the principal source of danger (Walt:1995, hal. 209). Sejalan dengan Waltz, Nye mengartikan balance of power sebagai any distribution of power. Itu artinya stabilitas dapat tercapai apabila power didistribusikan secara sama. (Nye:1997, hal. 54). Baik balance of thereat maupun balance of power, kedua hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan dalam dunia internasional. Keseimbangan yang terganggu akan membawa dampak pada adanya konflik karena menurut pandangan realis, sifat dunia internasional adalah anarki karena tidak adanya kekuatan di atas negara yang dapat mengatur negara (Nye:1997, hal 55). Menurut Nye, “balance of power as a policy of balancing”. Penekanan yang diberikan oleh Nye bahwasannya balance of power sebagai sebuah kebijakan meskipun Nye juga mengatakan ada pilihan lain suatu negara untuk memperbesar  power yang dimiliki melalui bandwagon. Nye mengartikan bandwagon sebagai “flock to apprent winner”.
Walt dan Nye berangapan bahwa proximate power menjadi hal yang penting dalam beraliansi. Walt mengatakan, “states will also align in response to threats from proximate power. Because the ability to project power declines with distance, states that are nearby pose a greater threat than those that are far away”(Walt:1997, hal. 215). Walt beranggapan bahwa kebangkitan power di suatu negara dalam suatu kawasan turut mempengaruhi preferensi suatu negara untuk beraliansi. Sedangkan, Nye berpendapat bahwa suatu negara meskipun lemah di dalam dunia internasional tetapi negara tersebut dapat membahayakan negara tetangga ataupun bagi negara-negara yang ada di suatu kawasan (Nye:1997, hal. 56).
Sejalan dengan Walt, Nye beranggapan bahwa terjadinya aliansi karena adanya ancaman. Menurut Nye aliansi adalah bentuk balance of power sebagai multipolar system. Nye berpendapat, “Alliances are fomal or informal arrangements that soverign states enter into with each other in order to ensure mutual security. An alliance might be motivated by military concerns: Two medium sized states might decides that they will be more secure against thereat from a larger state by forming alliance.” (Nye:1997, hal. 58).
Sama  seperti Walt, Nye beranggapan bahwa kesamaan ideologi turut mempengaruhi negara-negara dalam membangun aliansi. Nye mengistilahkan top dog dan underdog ideologi. Menurutnya, negara akan cenderung untuk memilih negara dengan ideologi yang jamak digunakan oleh dunia internasional seperti demokrasi. Namun, sama seperti Walt, Nye beranggapan bahwa ideologi dapat menjadi sumber ancaman yang dapat menggangu stabilitas. Hal ini dapat terlihat dalam pertarungan ideologi pada tahun 1960-an ketika Amerika  Serikat mengancam Cina, Unisoviet, Vietnam, dan Kamboja karena negara-negara tersebut menganut ideologi komunis (Nye:1997, hal. 57-58).
Berbeda dengan Walt yang mengatakan bahwa “...states form alliances to balance against threats rather than bandwagon with them” menurut Lebow balancing dapat menyebabkan suatu negara berkonflik dengan yang lain. Lebow mengatakan, “balancing could also intensify tensions and make war more likely because of the imposibility of asessing with any certainty the motives, capability, and resolve of other states. Leader understandably aim to achieve a margin of safety, and when multiple states or opposing alliances act this way, they ratchet up international tensions”. Dalam situasi ini menurut Lebow, negara yang powernya sedang bangkit akan berperang ketika perang dianggap sebagai sarana yang menguntungkan dan negara status quo cenderung untuk merespon dengan perang preventif untuk mengatasi kekuatan the rising state (Lebow:2010, hal. 63). Hal ini dikarenakan pada dasarnya beraliansi merupakan pilihan kebijakan suatu negara dalam merespon ancaman eksternal.
Viotti dan Kauppi mengenalkan terminologi voluntarinisme dan determinisme. Asumsi voluntarisme beranggapan bahwa pilihan balance of power suatu negara tidak terjadi dengan sendirinya sedangkan menurut asumsi determinisme, pilihan suatu negara akan balance of power pada hakikatnya terjadi dengan sendirinya meskipun apakah hal ini diinginkan atau tidak. (Viotti dan Kauppi:2010, hal. 60). Terlepas dari hal ini, Viotti dan Kauppi menekankan bahwa, “states is rational and unitary actor that will use its capabilities to accomplish its objectives, states inevitably interact and conflict in the competive environment of international politic. States may motivated to improve their own positions so as to dominate others, but such attempts likely will be countered by other states similarly motivated”. Sehingga menurut mereka, balance of power lebih sering tidak terjadi karena negara cenderung untuk melawan the rising state. Mereka melanjutkan bahwa sistem internasional yang anarki akan mempengaruhi kalkulasi dan pilihan para pengambil kebijakan yang ada di dalam suatu negara (Viotti dan Kauppi:2010, hal. 61).
Analisa terhadap Tulisan Walt
            Walt adalah seorang struktural realisme atau neorealis karena dalam tulisan yang ditulis oleh Walt ini, Walt menggunakan level struktur internasional sebagai unit analisa. Metode yang digunakan oleh walt adalah dengan menggunakan metode komparatif  karena Walt tidak hanya melihat bagaimana struktur tersebut terjadi pada suatu kawasan tetapi Walt juga menganalisa bagaiamana struktur internasional terjadi di berbagai belahan dunia seperti yang terjadi pada regional Eropa dan Timur Tengah. Selain itu, Walt mencoba untuk menggabungkan dua pendekatan sebagai pisau analisa yakni pendektan historik dan pendekatan kontemporer. Pendekatan historik yang digunakan Walt adalah dengan melihat bagaimana struktur internasional yang terjadi selama Perang Dunia I dan Perang Dunia II serta selama Perang Dingin. Sementara, pendekatan kontemporer yang digunakan oleh Walt adalah dengan memprediksi bagaimana kebijakan national security Amerika Serikat pasca perang Dingin.
            Tulisan Walt mengafirmasikan betapa tulisan ini adalah sebuah benih pemikiran neorealis. Dalam tulisannya, Walt meyimpulkan tiga hal penting. Pertama, negara akan lebih memilih balancing dari pada bandwagon. Kedua, ideologi mempunyai dampak yang lemah terhadap bangkitnya suatu aliansi. Ketiga, instrumen bribery dan penetration yang turut membentuk aliansi tidak bisa menjamin aliansi sepenunya dapat terjaga karena pada dasarnya kepentingan suatu negara berbeda dengan negara yag lain. (Walt:1995, hal.238). Sistem internasional bersifat anarki, maka pendekatan realis yang mengatakan bahwa state self help yang berarti negara yang paling pertama harus menolong dirinya sendiri ketika terancam adalah hal yang tak dapat dipungkiri. Karena ketiadaan aktor di atas negara yang dapat mengatur perilaku negara (sifat anarki) maka dengan demikian pada dasarnya hubungan internasional bersifat struggle of power sehingga konflik pada dasarnya merupakan sesuatu yang tak dapat dihindarkan. Mungkin ini sejalan dengan kutipan yang cukup populer, civis pacem para bellum, apabila kita menginginkan perdamaian maka kita harus bersiap untuk perang.
Hal yang juga menarik adalah meskipun Walt beranggapan bahwa ideologi dapat mendorong negara untuk beraliansi namun Walt juga beranggapan bahwa ideologi tidak begitu berperngaruh dalam pembantukan aliansi karena ideologi  dapat membuat negara-negara berkonflik (Walt:1995, hal. 229-231). Dalam hal ini dapat dianalisa bahwa bukan berarti Walt tidak bermoral atau imoral tetapi Walt  menegaskan bahwa realis pada dasarnya tidak terlalu mementingkan pada aspek moral atau amoral. Dengan demikian, menurut realis norma, ideologi, dan aturan sebenarnya hal yang juga berpengaruh di dalam dinamika hubungan internasional. Meskipun pada dasarnya menurut realis, negara adalah aktor yang paling utama yang bertindak secara rasional. Hal ini  berarti, apapun yang dilakukan oleh suatu negara adalah tindakan rasional.  Argumentasi Walt pada tahun 1995 ini setidaknya masih relevan hingga saat ini karena meskipun pada dasarnya ideologi demokrasi dapat membuat negara-negara beraliansi tetapi kepentingan nasional suatu negara cenderung membuat perilaku negara untuk tatap saling mencurigai satu sama lain meskipun mereka dalam aliansi yang sama.
Walt mengatakan bahwa bantuan luar negeri seperti bantuan eknomi dan militer tidak sepenuhnya menjamin keharmonisan suatu aliansi (aid creates allies). Selain karena beban yang tanggungan yang harus ditanggung oleh negara pendonor yang tentunya melalui persetujuan melalui perundingan pada level pengambil kebijakan di suatu negara, bantuan luar negeri sifatnya terbatas dan bantuan yang diberikan belum tentu dapat memenuhi kebutuhan domestik negara penerima. Apalagi bantuan tidak hanya didapat melalui aliansi tetepi juga bisa di dapatkan dari negara-negara di luar aliansi. Hal ini berarti jelas seperti yang ditegaskan oleh asumsi realis bahwa pada dasarnya negara berperilaku karena dipengaruhi oleh kepentingan negaranya. Selama suatu aliansi dapat mencapai common interest maka aliansi dapat terjalin dengan baik.
Yang menjadi kekurangan Walt dalam tulisan ini adalah Walt tidak memberikan rekomendasi bagaimana aliansi itu dapat terjadi dalam kaitan antara negara  yang menjadi super power dan small power. Lebih jelasnya, Walt tidak menjelaskan bagaimana aliansi itu harus terjadi, manakah yang lebih baik, satu super power, dua super power, atau  multi super power yang dapat menjaga kestabilan dalam beraliansi. Sehingga, hubungan antara super power dan small power dalam beraliansi dapat menjadi hubungan yang tidak saling menguntungkan dan common security yang diharapkan dalam suatu aliansi bisa saja tidak tercapai. Meskipun demikian, yang menarik adalah bahwa menurut Walt ancaman mempengaruhi perilaku negara dalam bertindak, apakah memilih untuk balancing atau bandwagoning, sehingga jelas bahwa meskipun Walt tidak menjelaskan satu atau lebih super power yang sebaiknya diperlukan dalam beraliansi setidaknya balance of threat yang dikemukan oleh walt dapat memberikan opsi bagaimana balance of threat harus terjadi ketika tidak terjadi perang untuk menjaga keseimbangan dalam struktur internasioal dan bagaimana  negara seharusnya berperilaku terutama untuk menghindari perang dalam dinamika hubungan internasional yang anarki dan self help.
Kesimpulan
Tulisan walt memberikan pemahaman akan pentingnya aliansi dalam dinamika hubungan internasional. Walt memaparkan tulisan ilmiah dengan penarikan kesimpulan yang logis dan sistematis. Tulisan Walt masih relevan hingga saat ini dan dapat menjadi acuan dan opsi bagi negara-negara dalam bertindak untuk dapat menjaga keseimbangan dalam struktur internasional yang anarki sehingga keamanan atau perdamaian dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
Lebow, Richard Ned. (2010) ‘Classical Realism’, dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International Relation Theories, Second Ed. New York: Oxford University Press.
Nye Jr., J. (1997). Understanding International Conflict: an introduction to theory and history, Second Ed. New York: Longman,
Viotti, P., & Kauppi, M. (2010). International Relation Theory, Fourth Ed. New York: Pearson.
Walt, Stephen M. (1995) ‘Alliance Formation and the Balance of World Power’, dalam Brown, Lynn-Jones, dan Miller. The Perils of Anarchy: contemporary realism and international security, Cambridge: The MIT Press.