Review

Friday, June 10, 2016

CINTA TANPA AKHIR




Di tengah berbagai pro dan kontra isu PKI yang kembali muncul di negara Indonesia, saya mengunduh sebuah buku yang cukup menarik yang ditulis oleh Robin Small. Judul buku tersebut “Karl Marx The Revolutionary as Educator” yang terbit pada tahun 2014 dan diterbitkan oleh penerbit Springer. Sampai saat ini, buku tersebut belum selesai saya baca dan mungkin tidak saya baca sampai habis karena saya lebih suka membaca dengan teknik scanning dan skimming . Dalam bahasa gaulnya teknik tersebut adalah membaca lompat-lompat ke informasi yang penting saja (atau sebenarnya hanya alasan saja karena malas membaca, hehehe). Namun, salah satu bagian menarik dari buku ini ada pada halaman 6. Pada halaman tersebut,  Small mengutip suatu surat yang ditulis oleh ayah Karl Marx yang ditujukan kepadanya. Small mengutip surat ini dari kumpulan-kumpulan tulisan Karl Marx dengan sahabatnya, Friedrich Engels.
***
Awal pendidikan Karl Marx bermula ketida ia bersekolah di sekolah Gymnasium Trier. Sekolah tersebut merupakan institusi pendidikan yang dikelola oleh  Serikat Yesuit. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah Gymnasium, Karl Marx melanjutkan pendidikannya di Universitas Bonn yang tidak jauh dengan kota kelahirannya, Trier. Jauh sebelum Karl Marx dilahirkan pada 5 May 1818, Trier merupakan  sebuah tempat yang pada abad ke V merupakan tempat  kelahiran dari St. Ambrosius  yang kelak menjadi Uskup di Milan dan menjadi mentor dari St. Agustinus. Setelah kekuasaan Napoleon Bonaparte berkurang, Trier kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Prusia. Jerman merupakan negara yang dulunya merupakan bagian dari Kerajaan Prusia.
Setelah berkuliah selama satu tahun di Universitas Bonn, Karl Marx kemudian pindah ke Universitas di Berlin. Ia pindah ke Berlin karena ayahnya menginginkan agar Karl Marx mendapatkan pendidikan yang lebih baik di sana. Keputusan ayahnya untuk memindahkan Karl Marx ke Berlin memberikan perasaan yang campur  aduk bagi  ayahnya karena harus terpisah karena jarak. Pada musim panas 1836 ketika Karl Marx berumur 18 tahun, ayahnya mengirimkan sepucuk surat kepadanya yang isinya sangat menarik. Penggalan isinya sebagai berikut.
I know that in regard to science Berlin has advantages and great attraction. But apart from the fact that greater difficulties arise there, you must surely also have some regard for your parents, whose sanguine hopes would be largely shattered by your residing so far away. Of course that must not hinder your plan of life; parental love is probably the least selfish of all. But if this plan of life could be fraternally combined with these hopes, that would be for me the highest of all life’s joys, the number of which decreases so considerably with the years (Marx and Engels 1975–2005, vol. 1, pp. 677–678).
Yang menarik dari kutipan surat ini adalah ketika ayah Karl Marx menulis, parental love is probably the least selfish of all.” Terjemahan bebasnya kira-kira adalah cinta orang tua mungkin merupakan cinta yang paling egois dari semuanya. Sepenggal kutipan surat ini menegaskan begitu besar cinta ayah Karl Marx kepadanya sehingga ia menggunakan diksi selfish (egois; yang mementingkan diri). Ayahnya  sadar bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk anaknya mungkin dengan memindahkan Karl Marx ke Universitas yang lebih baik meskipun harus terpisah oleh jarak. Cintah yang mungkin selfish namun untuk kebaikan yang lebih besar.
Penggalan surat ini pun mempunyai beberapa kata kunci yang menarik untuk diingat yakni hope, love, dan joy. Tentu, surat sebagai sarana komunikasi yang efektif pada masa itu ditulis sebagai representasi diri dari ayahnya agar Karl Marx tidak lupa untuk berharap (hope), mencintai (love), dan bergembira (joy). Mungkin surat dari ayahnya ini yang pada akhirnya menjadi motivasi tersendiri bagi Karl Marx di dalam berkuliah. Karl Marx dikemudian hari menjadi seorang doktor dari Universitas di Berlin tersebut dan pada akhirnya menjadi seorang filsuf yang pemikirannya banyak mempengaruhi umat manusia bahkan negara-negara di dunia hingga saat ini.
Lesson learned yang saya dapatkan dari buku yang belum selesai saya baca ini adalah bahwa dibalik usaha seseorang untuk menjadi mencapai kesuksesan selalu ada doa orang tua dibaliknya. Adagium tua Latin mengatakan amare parentes prima lex et-mencintai orang tua adalah hukum yang utama. Mencintai orang tua adalah hukum yang utama karena cinta orang tua adalah cinta yang tak dapat kita balas dengan harta dan materi dalam bentuk apapun karena cinta orang tua merupakan cinta yang tiada akhir, the endless love. Merefleksikan diri atas the endless love yang diberikan oleh orang tua kita masing-masing, pastinya menjadi amunisi mampuni baik sebagai sorang siswa, mahasiswa, dan apapun pekerjaan kita. #all’sFine.



Tuesday, April 5, 2016

POSTSTRUKTURALISME DAN STUDI KEAMANAN



Tulisan ini membahas mengenai pendekatan postsrukturalisme di dalam kaitannya dengan studi keamanan. Di dalam tulisan ini akan menggunakan tiga rujukan. Pertama melalui tulisan Peoples dan Williams yang memberikan pemahaman mengenai dinamika paradigma poststrukturalisme di dalam hubungan internasional dan studi kemamanan yang mendapatkan pengaruh dari scholar-scholar yang bukan berasal luar studi hubungan internasional. Kedua, tulisan Campbell yang memberikan pemahaman perkembangan paradigma poststrukturalisme. Ketiga, tulisan Neal yang memberikan pemahaman mengenai politik eksepsional yang berkembang di dalam paradigma poststrukturalisme di dalam studi keamanan kontemporer.
ULASAN
Paradigma Poststrukturalisme menjadi bagian dari hubungan internasional sejak tahun 1980-an. Adapun beberapa scholar yang mempengaruhi perkembangan paradigma ini pada saat itu adalah melalui tulisan-tulisan scholar seperti Richard Ashley (1981, 1984), James Der Derian (1987), Michael Shapiro (1988), dan R.B.J Walker (1987, 1993). Sebagai paradigma post positifis, kehadiran paradigma poststrukturalis lahir sebagai kritik terhadap paradigma mainstream di dalam hubungan internasional secara khusus realisme dan neorealisme. Kritik utama para scholar poststrukturalisme terhadap paradigma realisme karena realisme mengesampingkan pentingnya aktor-aktor selain aktor negara seperti aktor transnasionalisme baru,  perubahan isu, suara-suara dari masyarakat yang termarjinalkan, dan perspektif (David Campbell:2007, hal.216)
Pada awal perkembangannnya, Poststrukturalisme dimulai dengan adanya perhatian etis (moral) dengan melingkupi aktor-aktor-aktor selain aktor negara yang pada sebelumnya diabaikan dalam paradigma mainstream hubungan internasional (Campbell:2007, hal.216). Poststrukturalisme ditandai dengan pertanyaan mengapa negara dianggap sebagai aktor utama di dalam poltik dunia dan bagaimana negara dapat dipahami sebagai aktor utama dan aktor rasional. Meskipun demikian, pardigma ini bukanlah paradigma yang anti terhadap negara sebab justru poststrukturalisme juga memberikan perhatian terhadap sejarah negara, konsep-konsep yang dihasilkan negara, bentuk politik, institusi ekonomi negara, dan eksklusi sosial (Cambell:2007, hal.215-216).
Istilah poststrukturalis di dalam beberapa literatur sering disamakan dengan istilah postmodernitas, dan post modernisme. Istilah modernisme merujuk pada gaya kultural utama sebelum perang dunia kedua yang terjadi pada tahun 1890an. Kemudian, postmodernisme merujuk kepada periode setelah perang dunia kedua yang ditandai dengan budaya yang semakin pluralistik dan terglobalisasikan akibat dari perang dingin (Campbell:2007, hal.221). Istilah ini juga secara historis adalah istilah yang memayungi seni, arsitektural, dan pergerakan budaya yang muncul di barat pada tahun 1950an atau 1960an (Peoples dan Williams:2010, Hal. 63). Meskipun demikian, poststruktulis yang dimaksudkan di dalam review ini berbeda dengan pemikiran sosial, politik, dan filsafat yang terkait dengan istilah ini tetapi juga mempunyai tradisi strukturalis (Peoples dan Williams:2010, Hal. 63).
Kemudian paradigma poststrukturalisme mendapatkan pengaruh oleh disiplin ilmu lain seperti ilmu linguistik. Salah satu linguis yang mempengaruhi paradigma adalah linguis asal Swis Ferdidand de Saussure. Istilah strukturalis bertujuan untuk mempelajari konstruksi sosial dan kultural dari berbagai struktur yang memberikan arti di dalam kehidupan kita sehari-hari. Poststrukturalis juga menganalisa arti (meaning) yang diproduksi oleh struktur secara konsisten terhadap transformasi tatanan sosial pada akhir abad ke duapuluh (Cambell, 2010:, 222). Dengan demikian, ide yang dapat kita pikirkan dan kita bicarakan mengenai dunia bermakna lugas. Dalam hal ini peran bahasa adalah penting karena pengetahuan dan pengalaman mengenai dunia tidak dapat dipikirkan di luar interpretasi.
Sausure (1857-1913) seorang linguis dari Swis beranggapan bahwa strukutur dari setiap bahasa mempunyai rangkaian bunyi dan ide. Unit basis dari struktur linguistik disebut tanda (sign) dan setiap tanda terdiri dari dua bagian yakni signifier dan signified. Setiap tanda terdiri dari dua bagian komponen yakni signifier (misalnya bunyi dari kata kursi ketika diucapkan) dan signified (misalnya ide mengenai kursi adalah sesuatu yang digunakan untuk duduk). Menurutnya suatu arti bergantung pada perbedaan yang ada pada struktur bahasa Hal ini dikarenakan menurutnya tidak ada hubungan yang hakiki antara signifier dan signified. Tidak ada istilah  positif di dalam struktur bahasa yang ada adalah hanya perbedaan. (Peoples dan Williams:2010, Hal. 63-64). Kemudian menurut Derrida suatu arti tidak selalu stabil seperti yang diartikan oleh Sausure karena arti dari setiap tanda yang diberikan pada kalimat mempunyai ambiguitas dan dapat mengarah pada kebingungan. Menurutnya, arti bersifat licin dan bergerak sehingga dalam berbicara pada akhirnya berbeda. Deririda memberika istilah dekonstruksi yang merupakan sebuah cara berpikir dengan mengambil ketidakstabilan dari suatu arti sebagai titik awal agar kemudian menjadi upaya untuk mengamankan arti tersebut (Peoples dan Williams:2010, Hal. 65)
Foucault merupakan salah satu pemikir sejarah dan sosial yang mempengaruhi pemikiran posstrukturalis. Dia mempertanyakan apa arti dari kegilaan (madness). Dia mengeksplorasi arti dari kegilaan yang dihasilakan melalui institusi sosial yang berbeda pada waktu yang berbeda.  Oleh karena itu kebenaran dapat bervariasi bergantung dari  konteksi sosial, ekonomi, dan sejarah. Menurut Foucault diskursus merupakan suatu hal yang penting agar dapat digunakan dalam menganalisa karena kebenaran dapat berbeda-beda. Kebenaran merupakan implikasi relasi dari antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault beranggapan bahwa power bukanlah sesuatu yang dapat dimiliki oleh seseorang. Foucault juga memberikan istilah relasi power (relations of power) di dalam masyarakat. Menurutnya penting agar power dipahami sebagai relasi saling yang mempengaruhi. Sehingga menurutnya, lebih penting untuk memahami bagaimana relasi power di dalam setiap konteks tertentu dari pada siapa yang memiliki power. Relasi power ini tidak selamanya berarti represif atau seperti hubungan tuan dan budak. Karena masih dimungkinkan terdapatnya bentuk kebebasan di dalam pelaksanaannya. Meskipun demikian, relasi power ini tetap memperoleh unsur resistensi. Dalam konteks ini, relasi power mempunyai dimensi produktif (Peoples dan Williams:2010, Hal. 66).
Poststrukturalis dan Security Studies
                Pada awal perkembambangannya, paradigma poststrukturalis mengkritisi dominasi dari pemikiran realis dan neorealis. Paradigma ini beranggapan bahwa dunia sosial adalah sesuatu yang diberikan (given)  sedangkan paradigma ini tidak meperhatikan bagaimana peran pengetahuan dalam menghasilkan dunia sosial tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul Inside/Outside: International Relation as Political Theory (1993) R.B.J Walker beranggapan bahwa kedaulatan bukan merupakan sesuatu yang natural diberikan. Kedaulatan merupakan konstruksi sejarah yang muncul pada abad ke-17. Kemudian menurutnya, kedaulatan mengakibatkan paradoks identitas kembar yakni karena kedaulatan menghasilkan identitas sebagai warga negara yang merupakan bagian dari mahkluk universal dan sebagai bagian dari negara. Prinsip dari kedaulatan menurutnya menghasilkan perbedaan temporal dan spasial dari inside dan outside. Inside dari komunitas politik diasosiasikan dengan keselamatan, keamanan, dan persahabatan dan outside dari komunitas internasional diasosiaksikan dengan ketiadaan hukum, ketidakamanan, dan permusuhan. Menurutnya, teori hubungan internasional tradisional gagal dalam mengakui logika inside atau outside mengegaskan kembali keterbatasan dalam gambaran politik modern (Peoples dan Williams:2010, Hal. 67).
                Tulisan David Campbell’s yang berjudul Writing Security: United States Foreign Policiy and The Politics of Identity memberikan pemahaman bahwa peran identitas dan  dan  production of danger berpengaruh dalam keamanan internasional. Ia berpendapat bahwa identitas dipengaruhi oleh perbedaan. Identitas dihasilkan melalui  inskripsi batas-batas yang membatasi inside dan outside, diri dan yang lain, dalam negeri dan luar negeri. Campbell beranggapan bahwa identitas yang dimilikii oleh negara bukan  merupakan sesuatu yang diberikan (given) tetapi dihasilkan melalui hubungan dengan negara-negara lain melalui praktik yang berulang-ulang melalui  undang-undang dan  konstitusi yang membatasi negara yang satu dengan yang lain serta memberikan perbedaan atau identitas. Negara merupakan entitas politik yang harus disadari sebagai ‘work in progress’ (Peoples dan Williams:2010, Hal. 67).
                Campbell beranggapan bahwa bahaya (danger) bukanlah suatu kondisi objektif. Campbell mengatakan, “it (sic) is not a thing that exists independently of those whom it may become a threat”. Bahaya bukan merupakan sesuatu yang inheren dan bahaya tidak mengancam secara sama di dalam politik internasional. Bahaya harus dipahami sebagai ‘category of understanding’.  Dalam konteks ini, ia mengatakan bahwa, “‘those events or factors that we identify as dangerous come to be ascribed as such only through an interpretation of their various dimensions of dangerousness”. Hal ini berlawananan dengan pemahaman bahwa negara X sebagai sumber bahaya dan kemudian diidentifikasi oleh negara Y. Bagi Campbell, kebijakan luar negeri secara tradisional dipahami dalam istilah hubungan eksternal negara. Di dalam analisanya pada periode perang dingin, Campbell menyadari bahwa bahaya dan keberbahayaan berasal dari komunisme. Pada awal masa perang dingin, pemerintah Amerika Serikat membuat kebijakan konfrontatif terhadap apa yang disebut sebagai ‘red scare’ sebagai bentuk konfrontatif terhadap bahaya komunisme yang di usung oleh Unisoviet. Dalam konteks perang dingin, tulisan-tulisan mengenai  kebijakan luar negeri Amerika Serikat mencoba untuk mengamankan identitas Amerika Serikat. Hal ini dilakukan atas dasar ancaman ektra teritori dan demonisasi Unisoviet sebagai alien, subversif, kotor,  dan sakit. Dalam konteks ini, Amerika Serikat mencoba untuk memberikan arti dari keamanan yang timbul melalui identitas komunisme yan berasal dari Unisoviet (Peoples dan Williams:2010, Hal. 68).
Analisis
Di dalam perkembangan paradigma poststrukturalis terhadap keamanan, eksepsionalisme merupakan konsep yang berkembang di dalam realitas hubungan internasional kontemporer. Eksepsionalisme merupakan pandangan yang meliputi sususan dari kebijakan dan paraktik  illiberal yang dilegitimasi melalui klaim tentang eksepsi (pengecualian) terhadap norma (Neal:2006, Hal.31). Logika eksepsionalisme merupakan suatu hal yang digunakanan dalam kebijakanan counter terrorist kontemporer (Peoples dan Williams:2010, Hal. 70). Konsep eksepsionalis menjadi popular setelah kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang disebut sebagai war on terror pada era pemerintahan Presiden George Bush. Logika eksepsionalisme merupakan konsep yang digunakanan dalam kebijakanan counter terrorist kontemporer (Peoples dan Williams:2010, Hal. 70).
                Isu keamanan dikonstruksikan melalui dialektika antara aktor negara yang melakukan sekuritisasi dan publik yang menerima dan menilai tindakan tersebut. Sehingga Neal beranggapan bahwa legitimasi dari praktik eksepsioanal tidak selalu berhasil dan konsep ini dapat dikritisi. Konsep ini juga dapat di-dilegitimasi  baik di dalam kebijakan maupun praktik. Suatu isu disekuritisasi oleh elit keamanan dan agen negara melalui ‘speech act’ dimana elite dan agen tersebut mencoba untuk meyakinkan para pendengar (audience)  bahwa pada isu tertentu mempunyai permasalahan keamanan di dalam faktanya. Hal ini akan berdampak adanya bentuk gerakan politik dan sosial (Neal:2006, Hal.33).  Sejalan dengan hal ini, maka akan sulit untuk menjaga perbedaan antara kehidupan yang normal bagi masyarakat dengan kehadiran politik eksepsional di dalam kehidupan nyata. Generalisasi yang diberikan oleh aktor negara mengenai politik eksepsional menempatkan setiap masyarakat di bawah ancaman yang tidak habis-habisnya dari ketidakamanan (Peoples dan Williams:2010, Hal. 72).  Dengan adanya kepentingan tertentu, maka negara dapat saja mengkonstruksikan ketidakamanan yang sebenarnya berpotensi untuk menjadi ancaman bagi ketidakaman masyarakatnya sendiri dan masyarakat di negara lain. Hal ini terbukti dengan kebijakan luar negeri ‘war on terror’ Presiden George Bush yang berujung pada invasi ke Afganistan pada tahun 2001 dan ke Irak pada tahun 2003. Dengan adanya tuduhan ploriferasi senjata massal dan gembong teroris, Amerika Serikat dan sekutunya seakan-akan memperoleh legitimasi untuk menginvasi Afganistan dan Irak. Padahal, di dalam invasi terbut mendapatkan berbagai penolakan yang juga hadir dari masyarakat domestik Amerika Serikat dan dunia internasional. Selain itu, terdapat banyak masyarakat sipil yang harus menjadi korban baik secara materi maupun nyawa. 
Tulisan David Campbell’s yang berjudul Writing Security: United States Foreign Policiy and The Politics of Identity yang memberikan pemahaman bahwa peran identitas dan  production of danger berpengaruh dalam keamanan internasional. Selama perang dingin, ancaman terbesar bagi Amerika Serikat adalah bahaya komunisme yang berasal dari Unisoviet. Kemudian setelah kejadian 9/11 yang menghancurkan gedung pentagon dan World Trade Center (WTC) arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam merespon dunia internasional turut berubah. Jika selama perang dingin, ancaman eksternal terbesar Amerika Serikat berasal dari aktor negara namun pasca peristiwa 9/11 ancaman eksternal bagi Amerika serikat juga datang dari aktor non negara dalam hal ini terorisme. Neal mengatakan bahwa kejadian eksepsional atau situasi eksepsional mendikte suatu respon eksepsional. Sehingga, diskursus mengenai keamanan adalah hal yang penting Neal:2006, Hal.34). Dengan demikian, tindakan eksepsional sebenarnya merupakan tindakan yang tidak hanya untuk melegitimasi kepentingan negara yang dalam konteks tertentu mendiskreditkan norma tetapi legitimasi tindakan ini juga berhak mendapatkan respon dari msyarakat suatu negara. Apakah tindakan keamanan negara justru menjadi ketidakamanan bagi masyarakat domestiknya atau bahkan masyarakat yang ada di negara lain sangat bergantung dari bagaimana diskursus mengenai keamanan dan politik eksepsional itu sendiri. Negara dapat mendelegitimasi respon eksepsional baik di dalam praktik maupun kebijakan.
 Dengan demikian, norma yang merupakan harapan kolektif tentang apa yang baik dan benar sebenarnya dapat menjadi patokan utama apabila diskursus tentang tindakan eksepsional  memberikan celah yang besar bagi masyarakat luas dalam memberikan respon terhadap suatu kebijakan dan praktik eksepsional. Sehingga, tindakan eksepsional tidak selamanya menjadi pembenaran bagi negara dalam melakukan suatu tindakan sekuritisasi yang justru sering berimplikasi ketidakamanan bagi masyarakat domestik dan internasional. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Foucault bahwa kebenaran selalu  merupakan produk relasi antara power dan pengetahuan. Power merupakan sesuatu yang relasional sehingga dimana terdapat power maka disitu selalu ada resistensi.
Kesimpulan
                Poststrukturalisme merupakan suatu pendekatan yang lahir sebagai kritik terhadap paradigma mainstream di dalam hubungan internasional. Paradigma ini dalam kaitan dengan studi keamanan memberikan pemahaman yang besar akan pentingnya kekuatan diskursus. Kedaulatan negara bukan merupakan sesuau yang diberikan tetapi merupakan sesuatu yang dikonstruksikan. Selain itu identitas mempunyai peranan yang penting bagi suatu negara dalam memahami hubungannya dengan negara lain. Sehingga, konstruksi identitas negara yang berlainan dan berpotensi mengancam dapat menjadi sumber  tindakan sekuritisasi suatu negara.
                Politik eksepsional merupakan suatu konsep kontemporer yang berkembang di dalam pendekatan poststrukturalis. Negara dapat mempunyai legitimasi untuk melanggar norma tertentu dalam tindakan sekuritisasi. Meskipun demikian, tindakan eksepsional dapat di-delegitimasi baik di dalam politik maupun kebijakan melalui tindakan diskursif.

DAFTAR PUSTAKA
Campbell, David. 2010.  ‘Poststructuralism’, dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International Relation Theories, Second Ed. New York: Oxford University Press.
Neal, Andrew W. 2006. ‘Foucault in Guantánamo: Towards an Archaeology of the Exception’. SAGE Publications, Vol. 37(1): 31–46.
Peoples, Columba dan Nick Vaughan-Williams. 2010. Critical Security Studies: An Introduction. New York: Routledge.

Friday, April 1, 2016

HUBUNGAN INTERNASIONAL DAN LINGKUNGAN HIDUP



Oleh
Paskalis Alfinos Toda
Selama perang dingin berlangsung sistem internasional bersifat bipolar yang ditandai dengan adanya rivalitas antara dua super power, Amerika Serikat dan Unisoviet. Studi hubungan internasional memberikan perhatian pada dinamika konflik dan kerjasama antar negara.[1] Isu seperti perang dan ancaman militeristik menjadi isu high politic. Pada masa perang dingin keamanan negara (state security) menjadi isu yang paling dominan. Paradigma realis merupakan mazhab yang paling berkembang selama perang dingin. Pandangan ini berasumsi bahwa sistem politik internasional bersifat anarki dan negara merupakan aktor yang dominan. Inisiatif negara dalam menyelesaikan permasalahan secara bersama sangat sedikit dan sikap negara terhadap negara lain dipengaruhi oleh sejarah konflik internasional yang telah terjadi sebelumnya.[2]
Berakhirnya perang dingin memberikan dampak baru terhadap perubahan tatanan struktur internasional. Struktur  internasional tidak dapat dipahami lagi sebagai sebuah monopoli tatanan yang state centric. Selama perang dingin, struktur internasional ditandai dengan adanya rivalitas antara superpower dalam mengatur tatanan bipolar dunia. Kolapsnya Uni Soviet serta runtuhnya tembok Berlin membawakan dinamika baru dalam konstelasi politik internasional. Runtuhnya Uni Soviet turut mengubah sistem internasional yang bipolar menjadi uni-multiporal. Hal ini dikarenakan adanya kemenangan Amerika sebagai super power dalam perang dingin sementara di lain sisi muncul  polar-polar baru.
Paradigma lain yang juga turut berkembang adalah paradiga liberal yang berasumsi bahwa negara dapat bekerja sama dan mencari solusi bersama atas masalah yang dihadapai. Paradigma ini percaya bahwa non state actor juga mempunyai peranan yang penting dalam mengupayakan transparasi dan perjanjian koperatif.[3] Pandangan realis dan liberalis beserta variannya merupakan pandangan mainstream di dalam ilmu hubungan internasional. Namun kemudian, seiring dengan berbagai perkembangan muncul isu-isu baru dan proliferasi aktor-aktor nonstate. Hal ini mengkibatkan banyak gejala dan fenomena hubungan internasional yang tidak dapat dijelaskan melalui logika berpikir paradigma mainstream. Isu yang turut berkembang adalah mengenai keamanan negara (traditional security) yang mulai bergeser kepada isu kemananan nontradisional. Salah satunya adalah mengenai isu lingkungan hidup yang selama perang dingin berlangsung kurang mendapatkan perhatian oleh negara.
Selama perang dingin, negara-negara terdikotomi ke dalam blok-blok ideologis. Preferensi negara tertuju kepada apakah berpihak pada ideologi liberal atau ideologi komunis. Selain itu, terdapat negara-negara yang memilih untuk netral. Netralitas ini justru secara tidak langsung melahirkan blok tersendiri yang dinamakan Gerakan Non Blok (GNB). Mayoritas anggotanya berasal dari negara Asia dan Afrika.
Kemunculan Isu Lingkungan Hidup
            Pemanasan global, degradasi lingkungan hidup, kelangkaan flora-fauna dan perubahan iklim pada awalnya merupakan contoh-contoh permasalahan yang terkait dengan lingkungan hidup. Perkembangan ilmu hubungan internasional yang state centric dan berorientasi pada isu high politic semasa perang dingin membuat isu yang terkait dengan lingkungan hidup terabaikan. Selain itu, perkembangan ekonomi yang massif, proliferasi penggunaan teknologi baru, dan peningkatan jumlah populasi mengakibatkan peningkatan penggunaan energi dan sumberdaya alam.[4] Dinamika ini kemudian mempengaruhi keberlangsungan lingkungan hidup. Dampak pencemaran lingkungan hidup tidak hanya bersifat lokal namun juga mempunyai dampak global seperti adanya global warming. Merespon hal ini, komunitas internasional sadar bahwa permasalahan lingkungan hidup bukanlah suatu permasalahan lokal semata tetapi  haruslah diselesaikan secara bersama.
            Peristiwa bersejarah dalam penanggulangan masalah lingkungan hidup terkait isu lingkungan hidup adalah dengan diadakannya konvensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm pada tahun 1972. Salah satu isu sentral yang dibahas adalah mengenai pembangunan berkelanjutan. Hal ini merupakan reflekasi bahwa pada dasarnya dunia yang kita tempati bukanlah hanya menjadi milik manusia saat ini semata tetapi merupakan milik generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan (sustainabe development)[5] merupakan suatu istilah  yang diadopsi dari United Nation Conference on Human Environment (UNCHE) di Stockholm pada tahun 1972.[6]
Konferensi ini merupakan konferensi PBB yang menjadi titik tolak aktifitas institusional dari United Nations Environment Programme (UNEP) yang pada awalnya menangani masalah lingkungan antara negara-negara utara yang relatif lebih maju dari negara-negara dunia ketiga (third world) di bagian selatan dunia.[7] Dalam perkembangan selanjutnya, pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang berkembang pesat pada tahun 1990-an khsususnya setelah terjadinya United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio pada tahun 1992 yang disebut sebagai Earth Summit.[8] Jumlah negara yang hadir di dalam KTT Bumi ini berjumlah 170 negara.  Pada tahun 1980-an muncul teori sosial hijau (green social) dan politik hijau (green politic)  yang berkonsentrasi terhadap pergerakan sosial baru (new social movement) dalam merespon isu saat itu seperti lingkungan hidup, perdamaian, antinuklir dan gender. Pergerakan sosial ini memberikan dampak terhadap berkembangnya partai-partai pada level lokal, nasional, dan regional (mayoritas berada di Eropa)  berdasarkan pada empat pilar politik hijau: pertanggung jawaban ekologis, keadilan sosial, antikekerasan, dan demokrasi akar rumput. Pilar-pilar ini kemudian  menginspirasi kemunculan partai-partai hijau (green party) di berbagai belahan dunia.[9]
Politik hijau menantangi sturuktur internasional yang telah ada namun pada saat yang sama memberikan pemahaman akan adanya etika keberlangsungan, keadilan, dan harmoni ekosistem.[10] Keadilan lingkungan secara khusus  terkait dengan ketimpangan pembangunan antara negara-negara di dunia bagian utara yang lebih maju dan cenderung industrialis dibandingkan dengan negara-negara selatan yang relatif masih berkembang dan bergantung pada sektor pertanian. Negara-negara utara dianggap sebagai penyebab kerusakan lingkungan hidup sedangkan negara selatan juga mendapatkan stigma dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup yang tidak revolusioner.
Enviromentalisme dalam Hubungan Internasional
Istilah hijau (green) secara sederhana merujuk pada perhatian akan lingkungan hidup. Selain itu, terdapat juga istilah mengenai environmental atau teori hujau (green theory). Pandangan ini beranggapan bahwa permasalahan lingkungan yang menyebabkan bahaya akan keberlangsungan lingkungan hidup disebabkan oleh manusia.[11] Paterson beranggapan bahwa terdapat hubungan antara teori hijau dan hubungan internasional. Dalam memahami ontologi, ia mengklaim bahwa diperlukan adanya perubahan anggagapan dari antroposentrik menjadi ekosentris dalam memahami dunia. Dalam pandangan antroposentris, manusia dianggap sebagai pusat dari dunia sedangkan pandangan ekosentris beranggapan bahwa lingkungan hidup adalah pusat dari dunia. Pandangan ekosentris memberikan pemahaman bahwa manusia bukanlah satu-satunya mahkluk hidup yang tinggal di dalam dunia ini tetapi masih ada mahkluk hidup lain yang hidup dalam dunia ini. Manusia adalah bagian dari alam bukan di atas alam.[12]
Kemudian Paterson menambahkan bahwa perubahan ontologi ini harus diiringi dengan pemahaman mengenai keterbatasan enviromental. Menurutnya keterbatasan ini terkait dengan dua hal. Pertama, pertumbuhan populasi manusia yang mempengaruhi ketersediaan bahan bakar secara khusus yang terkait dengan industri. Kedua, aktifitas industri tersebut  kemudian dapat mempengaruhi polusi dan ketersediaan sumberdaya. Ia juga beranggapan bahwa tatanan dunia yang baru (new world order) haruslah lebih terdesentralisasi dan mengurangi power negara. Terkait dengan tatanan dunia baru, environmentalis atau teoritisi hijau menekankan pada slogan ‘think globally, act locally’. Hal ini berarti, suatu tindakan lokal dapat mempunyai efek global dan efek ini tidak selamanya melalui tatakelola negara tetapi dapat melalui komunitas internasional. Paterson beranggapan bahwa, environmental atau teori politik hijau dalam kaitannya dengan teori hubungan internasional adalah sama-sama menjelaskan destruksi yang diakibatkan oleh manusia dan bagaimana sifat destruktif manusia tersebut juga dapat menciptakan masyarakat yang berkelanjutan apabila terdapat kesadaran bersama akan kehidupan yang lebih baik.[13] 
 Pada tahun 1990-an,  politik hijau diakui sebagai tradisi politik baru. Politik ini menantangi  dua pandangan politik tradisional yang berkembang selama perang dingin yakni liberalisme dan sosialime. Tradisi politik hijau pada awalnya bertujuan untuk mengkritik kapitalisme barat dan sistem komunis Unisoviet yang sama-sama berorientasi pada industri.[14] Selain itu, pada saat yang sama muncul berbagai permasalahan lingkungan hidup yang juga turut berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat seperti pencemaran air, kelangkaan sumber daya, dan kesempatan kerja yang berkurang.
            Dalam perkembangan selanjutnya muncul gelombang kedua politik hijau  yang memberikan pemahaman yang lebih kritikal terkait dan lingkungan hidup. Gelombang ini berusaha agar permasalah lingkungan hidup dapat ditransnasionalisasi ke dalam konsep-konsep politik dan institusi-institusi yang terkait dengan lingkungan hidup. Lebih jauh, gelombang kedua ini memberikan pemahaman mengenai deteritorialisasi atau mengkonseptualisasi secara global pemahaman-pemahaman seperti keadilan lingkungan hidup, hak-hak lingkungan hidup, demokrasi lingkungan, aktivis lingkungan, negara hijau (green state).[15]
Globalisasi dan Permasalahan Lingkungan Hidup
Saat ini dunia sedang berada di dalam era globaliasi. Meskipun demikan, masih ada banyak perdebatan di antara para ahli mengenai kapan globalisasi itu terjadi. Strange dalam Weber mengatakan, “globalization has been described as “a term which can refer to anything from the Internet to a hamburger”. Marchand dalam Weber pun mempertanyakan apakah, “globalization” is a process, an ideology (“globalism”) or a “state of being” (“globality”).[16] Kemudian, Rosenau menyebut era saat ini sebagai era yang ditandai dengan adanya, “shifting boundaries, relocated authorities, weakened states, and proliferating nongovernmental organizations (NGOs) at local, provincial, national, transnational, international, and global levels of community, the time has come to confront the insufficiency of our ways of thinking, talking, and writing about government”[17]  Pernyataan-pernyataan di atas mengafirmasikan bahwa dinamika internasional saat ini tengah berada di dalam situasi yang sangat kompleks dengan proliferasi berbagai aktor secara khusus aktor non negara. Namun yang menjadi persoalan lain adalah semua aktor tersebut bermain di dalam panggung yang sama yakni di dalam dunia. Interaksi antar aktor ini tidak jarang mempengaruhi isu di dalam hubungan internasional secara khsusus terkait dengan lingkungan hidup.
Pertanyaannya adalah dengan ketergantungan dan kerjasama antar negara dalam ekonomi apakah justru pada saat yang sama memberikan dampak destruktif terhadap lingkungan hidup? Atau pertanyaan yang lebih radikal adalah apakah keuntungan ekonomis suatu negara adalah karena suatu negara mengeksploitasi negara lain? Hubungan yang timpang yang sering terjadi antar negara khususnya melalui terminologi utara-selatan merupakan salah satu kajian yang di bahas oleh para teoritisi hijau. Keadilan lingkungan merupakan hal yang penting karena bagaimana pun juga lingkungan hidup merupakan milik semua umat manusia bahkan bagi generasi mendatang. Eckersley dalam Paterson memberikan penolakan terhadap pandangan dunia yang cenderung antroposentris. Menurutnnya pendekatan ini harus berubah menjadi pendekatan yang lebih ekosentris yang menempatkan manusia sebagai bagian kesatuan dari ekosistem.[18]
Di era globalisasi, meskipun terdapatnya hubungan  kesejahteraan masyarakat dan ekonomi, penting agar terciptanya kesadaran akan pembangunan yang berkelanjutan. Negara atau aktor non negara yang bergerak di dalam bidang ekonomi seperti MNC dan TNC perlu meningkatkan eskalasi kesadaran akan esensi pandangan politik hijau. Pandangan yang beranggapan bahwa kerusakan lingkungan hidup justru disebabkan oleh manusia itu sendiri.[19] Keberlangsungan ekologis merupakan suatu hal yang tidak dapat dimunafikkan karena pada dasarnya keberlangsungan hidup generasi mendatang sangat ditentukan oleh generasi umat manusia saat ini.
Seperti yang dikatakan oleh Rosenau bahwa terdapatnya relocated authorities dan weakened states  di atas, perlu digaris bawahi bahwa masalah lingkungan hidup tidak sebatas merupakan permasalahan negara tetapi justru permasalahan ini perlu ditangani melalui kolaborasi antara sektor-sektor lain secara khusus sektor pasar dan masyarakat. Terkait dengan hal ini, teoritisi hijau merekomendasikan agar permasalah lingkungan hidup di mulai pada tingkatan lokal atau disebut juga sebagai desentralisasi. Namun, tentu hal ini akan menjadi mustahil ketika jejaring dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan hanya terbetas pada skala lokal padahal permasalahan lingkungan relatif mempengaruhi bidang yang lain dan mempunyai dimensi global. Maka, desentralisasi yang dimaksudkan oleh kalangan hijau sebenarnya mengandung makna perlu adanya tindakan lokal yang berdampak global. Mengatasi masalah lingkungan pada tingkat lokal harus dimulai melalui pendekatan akar rumput. Hal ini disebabkan karena permasalahan lingkungan selain bersifat lokal tetapi juga terdapat dimensi transnasional bahkan global.[20] Peran civil society sangat penting dalam mengupayakan pembentukan norma-norma lingkungan hidup seperti yang diharapkan oleh para teoritisi politik hijau sehingga permasalahan lingkungan benar-benar dapat dimulai pada tingkatan yang paling rendah yakni pada level lokal (desentralisasi).
Kesimpulan
            Berakhirnya perang dingin mempengaruhi terhadap kemuncuan isu selain isu high politic seperti lingkungan hidup yang salam perang dingin berlangsung kurang mendapatkan perhatian. Selain terdapatnya pergesaran isu yang baru, proliferasi aktor non negara turut mempengaruhi konstelasi hubungan internasional. Isu lingkungan hidup di dalam hubungan internasional menjadi signifikan karena permasalahan lingkungan dapat terjadi pada level lokal, transnasional bahkan global. Selain itu, teoritisi environmentalis memberikan pengaruh yang besar terkait pandangan bagaimana letak lingkungan hidup di dalam hubungan internasional. Permasalahan lingkungan hidup bukan saja semata permasalahan yang harus diselesaikan oleh negara tetapi menuntut keterlibatan pihak lain secara khsusus pasar dan masyarakat.
            Terakhir, globalisasi dapat memberikan polemik terhadap perkembangan isu lingkungan hidup. Namun yang perlu menjadi catatan adalah perlunya kesadaran akan pemahaman yang sudah dibangun oleh para pemikir hijau seperti ekosentrisme, keterbatasan pertumbuhan, dan desentralisasi penyelesaian masalah lingkungan. Dengan demikian diharapkan permasalahan lingkungan dapat diselesaikan bersama dan wajah dunia dapat menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, William Mark (2001). Green Development: Environment and Sustainability in The Tthird Wolrd (Second Edition), New York: Routledge.
Eckersley, Robyn (2010). ‘Green Theory’ dalam dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International Relation Theorie: second Edition, New York: Oxford.
Paterson, Matthew  (2001). ‘Green Politics’ dalam ” dalam Burchill, Scott; Linklater, Andrew et al. Theories of International Relations, Third edition.  New York: Palgrave Macmillan.
Rosenau, James (2006). The Study of World Politic Volume 2, New York: Routledge.
O’Neill, Kate (2009). The Environment and International Relations, Edinburgh: Cambridge.
Vogler, John dan Mark F. Imber (1996). The Environment and International Relations, New York: Routledge.
Weber, Cynthia (2010). International Relation Theory: A Critical Introduction Third Edition, New York: Routledge.



[1] Kate O’Neill (2009). The Environment and International Relations, Edinburgh: Cambridge. Hal.8.
[2] Ibid.
[3] Ibid., Hal.10.
[4]Robyn Eckersley (2010). ‘Green Theory’ dalam dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International Relation Theorie: second Edition, New York: Oxford. Hal. 259.
[5]Menurut Adams istilah pembangunan berkelanjutan (sustainabe development) merupakan istilah konsep teoritis yang dapat juga diartikan dengan pembangunan hijau (green development) atau ecodevelopment (2001:4).
[6] William Mark Adams (2001). Green Development: Environment and Sustainability in The Tthird Wolrd (Second Edition), New York: Routledge. Hal. 1.
[7] John Vogler dan Mark F. Imber (1996). The Environment and International Relations, New York: Routledge. Hal. 5. Adams menjelaskan bahwa dunia ketiga (third world) merupakan istilah yang digunakan untuk negara-negara yang tidak terlalu bergerak dalam bidang industri. Negara selatan (the south) merupakan negara yang berkembang atau sedang berkembang. Adapun dunia ketiga juga dapat diartikan pada negara-negara yang tidak beraliansi dengan negara-negara kapitalis di dunia pertama (first world) dan negara-negara sosialis di dunia kedua (second world) (2001:xvii).
[8] Adams, Op. Cit., Hal. 2.
[9] Eckersley, Op. Cit., Hal. 260.
[10] O’Neill, Op. Cit., Hal. 18.
[11] Cynthia Weber  (2010). International Relation Theory: A Critical Introduction Third Edition, New York: Routledge. Hal. 192.
[12] Ibid.Hal.193.
[13]Ibid. Hal. 193-194.
[14] Eckersley, Op. Cit., Hal.260.
[15] Ibid. Hal.262.
[16] Weber, Op. Cit.,Hal. 108.
[17] James   Rosenau  (2006). The Study of World Politic Volume 2, New York: Routledge. Hal. 111.
[18] Matthew Paterson (2001). ‘Green Politics’ dalam ” dalam Burchill, Scott; Linklater, Andrew et al. Theories of International Relations, Third edition.  New York: Palgrave Macmillan. Hal. 237.
[19] Ibid. Hal.237.
[20] Ibid. Hal. 247.