Oleh
Paskalis Alfinos Toda
Selama perang dingin berlangsung sistem
internasional bersifat bipolar yang ditandai dengan adanya rivalitas antara dua
super power, Amerika Serikat dan Unisoviet. Studi hubungan internasional
memberikan perhatian pada dinamika konflik dan kerjasama antar negara.[1]
Isu seperti perang dan ancaman militeristik menjadi isu high politic. Pada masa perang dingin keamanan negara (state security) menjadi isu yang paling
dominan. Paradigma realis merupakan mazhab yang paling berkembang selama perang
dingin. Pandangan ini berasumsi bahwa sistem politik internasional bersifat
anarki dan negara merupakan aktor yang dominan. Inisiatif negara dalam
menyelesaikan permasalahan secara bersama sangat sedikit dan sikap negara
terhadap negara lain dipengaruhi oleh sejarah konflik internasional yang telah
terjadi sebelumnya.[2]
Berakhirnya perang dingin memberikan
dampak baru terhadap perubahan tatanan struktur internasional. Struktur internasional tidak dapat dipahami lagi
sebagai sebuah monopoli tatanan yang state
centric. Selama perang dingin, struktur internasional ditandai dengan
adanya rivalitas antara superpower dalam
mengatur tatanan bipolar dunia. Kolapsnya Uni Soviet serta runtuhnya tembok
Berlin membawakan dinamika baru dalam konstelasi politik internasional.
Runtuhnya Uni Soviet turut mengubah sistem internasional yang bipolar menjadi
uni-multiporal. Hal ini dikarenakan adanya kemenangan Amerika sebagai super power dalam perang dingin
sementara di lain sisi muncul
polar-polar baru.
Paradigma lain yang juga turut
berkembang adalah paradiga liberal yang berasumsi bahwa negara dapat bekerja
sama dan mencari solusi bersama atas masalah yang dihadapai. Paradigma ini
percaya bahwa non state actor juga
mempunyai peranan yang penting dalam mengupayakan transparasi dan perjanjian
koperatif.[3]
Pandangan realis dan liberalis beserta variannya merupakan pandangan mainstream di dalam ilmu hubungan
internasional. Namun kemudian, seiring dengan berbagai perkembangan muncul
isu-isu baru dan proliferasi aktor-aktor nonstate.
Hal ini mengkibatkan banyak gejala dan fenomena hubungan internasional yang
tidak dapat dijelaskan melalui logika berpikir paradigma mainstream. Isu yang turut berkembang adalah mengenai keamanan
negara (traditional security) yang
mulai bergeser kepada isu kemananan nontradisional. Salah satunya adalah
mengenai isu lingkungan hidup yang selama perang dingin berlangsung kurang
mendapatkan perhatian oleh negara.
Selama perang dingin, negara-negara
terdikotomi ke dalam blok-blok ideologis. Preferensi negara tertuju kepada
apakah berpihak pada ideologi liberal atau ideologi komunis. Selain itu,
terdapat negara-negara yang memilih untuk netral. Netralitas ini justru secara
tidak langsung melahirkan blok tersendiri yang dinamakan Gerakan Non Blok
(GNB). Mayoritas anggotanya berasal dari negara Asia dan Afrika.
Kemunculan Isu Lingkungan
Hidup
Pemanasan global, degradasi
lingkungan hidup, kelangkaan flora-fauna dan perubahan iklim pada awalnya
merupakan contoh-contoh permasalahan yang terkait dengan lingkungan hidup.
Perkembangan ilmu hubungan internasional yang state centric dan
berorientasi pada isu high politic semasa perang dingin membuat isu yang
terkait dengan lingkungan hidup terabaikan. Selain itu, perkembangan ekonomi
yang massif, proliferasi penggunaan teknologi baru, dan peningkatan jumlah
populasi mengakibatkan peningkatan penggunaan energi dan sumberdaya alam.[4]
Dinamika ini kemudian mempengaruhi keberlangsungan lingkungan hidup. Dampak pencemaran
lingkungan hidup tidak hanya bersifat lokal namun juga mempunyai dampak global
seperti adanya global warming. Merespon hal ini, komunitas internasional
sadar bahwa permasalahan lingkungan hidup bukanlah suatu permasalahan lokal
semata tetapi haruslah diselesaikan
secara bersama.
Peristiwa
bersejarah dalam penanggulangan masalah lingkungan hidup terkait isu lingkungan
hidup adalah dengan diadakannya konvensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm
pada tahun 1972. Salah satu isu sentral yang dibahas adalah mengenai
pembangunan berkelanjutan. Hal ini merupakan reflekasi bahwa pada dasarnya
dunia yang kita tempati bukanlah hanya menjadi milik manusia saat ini semata
tetapi merupakan milik generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan (sustainabe
development)[5]
merupakan suatu istilah yang diadopsi
dari United Nation Conference on Human Environment (UNCHE) di
Stockholm pada tahun 1972.[6]
Konferensi ini merupakan
konferensi PBB yang menjadi titik tolak aktifitas institusional dari United
Nations Environment Programme (UNEP) yang pada awalnya menangani masalah
lingkungan antara negara-negara utara yang relatif lebih maju dari
negara-negara dunia ketiga (third world) di bagian selatan dunia.[7]
Dalam perkembangan selanjutnya, pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang
berkembang pesat pada tahun 1990-an khsususnya setelah terjadinya United
Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio pada tahun
1992 yang disebut sebagai Earth Summit.[8]
Jumlah negara yang hadir di dalam KTT Bumi ini berjumlah 170 negara. Pada tahun 1980-an muncul teori
sosial hijau (green social) dan politik hijau (green politic) yang berkonsentrasi terhadap pergerakan sosial
baru (new social movement) dalam merespon isu saat itu seperti
lingkungan hidup, perdamaian, antinuklir dan gender. Pergerakan sosial ini
memberikan dampak terhadap berkembangnya partai-partai pada level lokal,
nasional, dan regional (mayoritas berada di Eropa) berdasarkan pada empat pilar politik hijau:
pertanggung jawaban ekologis, keadilan sosial, antikekerasan, dan demokrasi
akar rumput. Pilar-pilar ini kemudian menginspirasi kemunculan partai-partai hijau (green
party) di berbagai belahan dunia.[9]
Politik hijau menantangi
sturuktur internasional yang telah ada namun pada saat yang sama memberikan
pemahaman akan adanya etika keberlangsungan, keadilan, dan harmoni ekosistem.[10]
Keadilan lingkungan secara khusus
terkait dengan ketimpangan pembangunan antara negara-negara di dunia
bagian utara yang lebih maju dan cenderung industrialis dibandingkan dengan
negara-negara selatan yang relatif masih berkembang dan bergantung pada sektor
pertanian. Negara-negara utara dianggap sebagai penyebab kerusakan lingkungan
hidup sedangkan negara selatan juga mendapatkan stigma dalam menyelesaikan
permasalahan lingkungan hidup yang tidak revolusioner.
Enviromentalisme
dalam Hubungan Internasional
Istilah hijau (green)
secara sederhana merujuk pada perhatian akan lingkungan hidup. Selain itu,
terdapat juga istilah mengenai environmental atau teori hujau (green theory).
Pandangan ini beranggapan bahwa permasalahan lingkungan yang menyebabkan bahaya
akan keberlangsungan lingkungan hidup disebabkan oleh manusia.[11]
Paterson beranggapan bahwa terdapat hubungan antara teori hijau dan hubungan
internasional. Dalam memahami ontologi, ia mengklaim bahwa diperlukan adanya
perubahan anggagapan dari antroposentrik menjadi ekosentris dalam memahami
dunia. Dalam pandangan antroposentris, manusia dianggap sebagai pusat dari dunia
sedangkan pandangan ekosentris beranggapan bahwa lingkungan hidup adalah pusat
dari dunia. Pandangan ekosentris memberikan pemahaman bahwa manusia bukanlah
satu-satunya mahkluk hidup yang tinggal di dalam dunia ini tetapi masih ada
mahkluk hidup lain yang hidup dalam dunia ini. Manusia adalah bagian dari alam
bukan di atas alam.[12]
Kemudian Paterson menambahkan bahwa perubahan
ontologi ini harus diiringi dengan pemahaman mengenai keterbatasan
enviromental. Menurutnya keterbatasan ini terkait dengan dua hal. Pertama, pertumbuhan
populasi manusia yang mempengaruhi ketersediaan bahan bakar secara khusus yang
terkait dengan industri. Kedua, aktifitas industri tersebut kemudian dapat mempengaruhi polusi dan
ketersediaan sumberdaya. Ia juga beranggapan bahwa tatanan dunia yang baru (new world order) haruslah lebih terdesentralisasi
dan mengurangi power negara. Terkait dengan tatanan dunia baru, environmentalis
atau teoritisi hijau menekankan pada slogan ‘think
globally, act locally’. Hal ini berarti, suatu tindakan lokal dapat
mempunyai efek global dan efek ini tidak selamanya melalui tatakelola negara
tetapi dapat melalui komunitas internasional. Paterson beranggapan bahwa,
environmental atau teori politik hijau dalam kaitannya dengan teori hubungan
internasional adalah sama-sama menjelaskan destruksi yang diakibatkan oleh
manusia dan bagaimana sifat destruktif manusia tersebut juga dapat menciptakan
masyarakat yang berkelanjutan apabila terdapat kesadaran bersama akan kehidupan
yang lebih baik.[13]
Pada tahun 1990-an, politik hijau diakui sebagai tradisi politik
baru. Politik ini menantangi dua
pandangan politik tradisional yang berkembang selama perang dingin yakni
liberalisme dan sosialime. Tradisi politik hijau pada awalnya bertujuan untuk
mengkritik kapitalisme barat dan sistem komunis Unisoviet yang sama-sama
berorientasi pada industri.[14]
Selain itu, pada saat yang sama muncul berbagai permasalahan lingkungan hidup
yang juga turut berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat seperti
pencemaran air, kelangkaan sumber daya, dan kesempatan kerja yang berkurang.
Dalam perkembangan selanjutnya
muncul gelombang kedua politik hijau
yang memberikan pemahaman yang lebih kritikal terkait dan lingkungan
hidup. Gelombang ini berusaha agar permasalah lingkungan hidup dapat
ditransnasionalisasi ke dalam konsep-konsep politik dan institusi-institusi
yang terkait dengan lingkungan hidup. Lebih jauh, gelombang kedua ini
memberikan pemahaman mengenai deteritorialisasi atau mengkonseptualisasi secara
global pemahaman-pemahaman seperti keadilan lingkungan hidup, hak-hak
lingkungan hidup, demokrasi lingkungan, aktivis lingkungan, negara hijau (green
state).[15]
Globalisasi
dan Permasalahan Lingkungan Hidup
Saat ini dunia
sedang berada di dalam era globaliasi. Meskipun demikan, masih ada banyak
perdebatan di antara para ahli mengenai kapan globalisasi itu terjadi. Strange
dalam Weber mengatakan, “globalization
has been described as “a term which can refer to anything from the Internet to
a hamburger”. Marchand dalam Weber pun mempertanyakan apakah, “globalization” is a process, an ideology
(“globalism”) or a “state of being” (“globality”).[16]
Kemudian, Rosenau menyebut era saat ini sebagai era yang ditandai dengan
adanya, “shifting boundaries, relocated
authorities, weakened states, and proliferating nongovernmental organizations
(NGOs) at local, provincial, national, transnational, international, and global
levels of community, the time has come to confront the insufficiency of our
ways of thinking, talking, and writing about government”[17]
Pernyataan-pernyataan di atas
mengafirmasikan bahwa dinamika internasional saat ini tengah berada di dalam
situasi yang sangat kompleks dengan proliferasi berbagai aktor secara khusus
aktor non negara. Namun yang menjadi persoalan lain adalah semua aktor tersebut
bermain di dalam panggung yang sama yakni di dalam dunia. Interaksi antar aktor
ini tidak jarang mempengaruhi isu di dalam hubungan internasional secara
khsusus terkait dengan lingkungan hidup.
Pertanyaannya adalah
dengan ketergantungan dan kerjasama antar negara dalam ekonomi apakah justru
pada saat yang sama memberikan dampak destruktif terhadap lingkungan hidup?
Atau pertanyaan yang lebih radikal adalah apakah keuntungan ekonomis suatu
negara adalah karena suatu negara mengeksploitasi negara lain? Hubungan yang
timpang yang sering terjadi antar negara khususnya melalui terminologi
utara-selatan merupakan salah satu kajian yang di bahas oleh para teoritisi
hijau. Keadilan lingkungan merupakan hal yang penting karena bagaimana pun juga
lingkungan hidup merupakan milik semua umat manusia bahkan bagi generasi
mendatang. Eckersley dalam Paterson memberikan penolakan terhadap pandangan dunia
yang cenderung antroposentris. Menurutnnya pendekatan ini harus berubah menjadi
pendekatan yang lebih ekosentris yang menempatkan manusia sebagai bagian
kesatuan dari ekosistem.[18]
Di era
globalisasi, meskipun terdapatnya hubungan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi, penting
agar terciptanya kesadaran akan pembangunan yang berkelanjutan. Negara atau
aktor non negara yang bergerak di dalam bidang ekonomi seperti MNC dan TNC
perlu meningkatkan eskalasi kesadaran akan esensi pandangan politik hijau.
Pandangan yang beranggapan bahwa kerusakan lingkungan hidup justru disebabkan
oleh manusia itu sendiri.[19]
Keberlangsungan ekologis merupakan suatu hal yang tidak dapat dimunafikkan
karena pada dasarnya keberlangsungan hidup generasi mendatang sangat ditentukan
oleh generasi umat manusia saat ini.
Seperti yang
dikatakan oleh Rosenau bahwa terdapatnya relocated
authorities dan weakened states di atas, perlu digaris bawahi bahwa masalah
lingkungan hidup tidak sebatas merupakan permasalahan negara tetapi justru
permasalahan ini perlu ditangani melalui kolaborasi antara sektor-sektor lain
secara khusus sektor pasar dan masyarakat. Terkait dengan hal ini, teoritisi
hijau merekomendasikan agar permasalah lingkungan hidup di mulai pada tingkatan
lokal atau disebut juga sebagai desentralisasi. Namun, tentu hal ini akan
menjadi mustahil ketika jejaring dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan
hanya terbetas pada skala lokal padahal permasalahan lingkungan relatif
mempengaruhi bidang yang lain dan mempunyai dimensi global. Maka,
desentralisasi yang dimaksudkan oleh kalangan hijau sebenarnya mengandung makna
perlu adanya tindakan lokal yang berdampak global. Mengatasi masalah lingkungan
pada tingkat lokal harus dimulai melalui pendekatan akar rumput. Hal ini
disebabkan karena permasalahan lingkungan selain bersifat lokal tetapi juga
terdapat dimensi transnasional bahkan global.[20]
Peran civil society sangat penting
dalam mengupayakan pembentukan norma-norma lingkungan hidup seperti yang
diharapkan oleh para teoritisi politik hijau sehingga permasalahan lingkungan
benar-benar dapat dimulai pada tingkatan yang paling rendah yakni pada level
lokal (desentralisasi).
Kesimpulan
Berakhirnya perang dingin mempengaruhi terhadap kemuncuan isu selain isu high politic seperti lingkungan hidup
yang salam perang dingin berlangsung kurang mendapatkan perhatian. Selain
terdapatnya pergesaran isu yang baru, proliferasi aktor non negara turut
mempengaruhi konstelasi hubungan internasional. Isu lingkungan hidup di dalam
hubungan internasional menjadi signifikan karena permasalahan lingkungan dapat
terjadi pada level lokal, transnasional bahkan global. Selain itu, teoritisi
environmentalis memberikan pengaruh yang besar terkait pandangan bagaimana
letak lingkungan hidup di dalam hubungan internasional. Permasalahan lingkungan
hidup bukan saja semata permasalahan yang harus diselesaikan oleh negara tetapi
menuntut keterlibatan pihak lain secara khsusus pasar dan masyarakat.
Terakhir,
globalisasi dapat memberikan polemik terhadap perkembangan isu lingkungan
hidup. Namun yang perlu menjadi catatan adalah perlunya kesadaran akan pemahaman
yang sudah dibangun oleh para pemikir hijau seperti ekosentrisme, keterbatasan
pertumbuhan, dan desentralisasi penyelesaian masalah lingkungan. Dengan
demikian diharapkan permasalahan lingkungan dapat diselesaikan bersama dan wajah
dunia dapat menjadi lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Adams, William Mark (2001). Green
Development: Environment and Sustainability in The Tthird Wolrd (Second
Edition), New York: Routledge.
Eckersley, Robyn (2010).
‘Green Theory’ dalam dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International
Relation Theorie: second Edition, New York: Oxford.
Paterson, Matthew (2001). ‘Green Politics’ dalam ” dalam
Burchill, Scott; Linklater, Andrew et al. Theories of International
Relations, Third edition. New York:
Palgrave Macmillan.
Rosenau, James (2006). The
Study of World Politic Volume 2, New York: Routledge.
O’Neill, Kate (2009). The
Environment and International Relations, Edinburgh: Cambridge.
Vogler, John dan Mark F. Imber
(1996). The Environment and International Relations, New York:
Routledge.
Weber, Cynthia
(2010). International Relation Theory: A Critical Introduction Third Edition, New York: Routledge.
[4]Robyn Eckersley (2010). ‘Green Theory’ dalam dalam
Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International
Relation Theorie: second Edition, New York: Oxford. Hal. 259.
[5]Menurut Adams istilah pembangunan berkelanjutan (sustainabe development) merupakan istilah
konsep teoritis yang dapat juga diartikan dengan pembangunan hijau (green development) atau ecodevelopment (2001:4).
[6] William Mark Adams (2001). Green Development: Environment and Sustainability in The Tthird Wolrd
(Second Edition), New York: Routledge. Hal. 1.
[7] John Vogler dan Mark F.
Imber (1996). The Environment and
International Relations, New York: Routledge. Hal. 5. Adams menjelaskan
bahwa dunia ketiga (third world)
merupakan istilah yang digunakan untuk negara-negara yang tidak terlalu
bergerak dalam bidang industri. Negara selatan (the south) merupakan negara yang berkembang atau sedang
berkembang. Adapun dunia ketiga juga dapat diartikan pada negara-negara yang tidak
beraliansi dengan negara-negara kapitalis di dunia pertama (first world) dan negara-negara sosialis di dunia kedua (second world) (2001:xvii).
[11]
Cynthia Weber (2010). International Relation Theory: A Critical Introduction Third Edition, New York: Routledge.
Hal. 192.
[18] Matthew Paterson (2001). ‘Green
Politics’ dalam ” dalam Burchill,
Scott; Linklater, Andrew et al. Theories
of International Relations, Third edition. New York: Palgrave Macmillan. Hal. 237.
No comments:
Post a Comment