Review

Friday, April 1, 2016

HUBUNGAN INTERNASIONAL DAN LINGKUNGAN HIDUP



Oleh
Paskalis Alfinos Toda
Selama perang dingin berlangsung sistem internasional bersifat bipolar yang ditandai dengan adanya rivalitas antara dua super power, Amerika Serikat dan Unisoviet. Studi hubungan internasional memberikan perhatian pada dinamika konflik dan kerjasama antar negara.[1] Isu seperti perang dan ancaman militeristik menjadi isu high politic. Pada masa perang dingin keamanan negara (state security) menjadi isu yang paling dominan. Paradigma realis merupakan mazhab yang paling berkembang selama perang dingin. Pandangan ini berasumsi bahwa sistem politik internasional bersifat anarki dan negara merupakan aktor yang dominan. Inisiatif negara dalam menyelesaikan permasalahan secara bersama sangat sedikit dan sikap negara terhadap negara lain dipengaruhi oleh sejarah konflik internasional yang telah terjadi sebelumnya.[2]
Berakhirnya perang dingin memberikan dampak baru terhadap perubahan tatanan struktur internasional. Struktur  internasional tidak dapat dipahami lagi sebagai sebuah monopoli tatanan yang state centric. Selama perang dingin, struktur internasional ditandai dengan adanya rivalitas antara superpower dalam mengatur tatanan bipolar dunia. Kolapsnya Uni Soviet serta runtuhnya tembok Berlin membawakan dinamika baru dalam konstelasi politik internasional. Runtuhnya Uni Soviet turut mengubah sistem internasional yang bipolar menjadi uni-multiporal. Hal ini dikarenakan adanya kemenangan Amerika sebagai super power dalam perang dingin sementara di lain sisi muncul  polar-polar baru.
Paradigma lain yang juga turut berkembang adalah paradiga liberal yang berasumsi bahwa negara dapat bekerja sama dan mencari solusi bersama atas masalah yang dihadapai. Paradigma ini percaya bahwa non state actor juga mempunyai peranan yang penting dalam mengupayakan transparasi dan perjanjian koperatif.[3] Pandangan realis dan liberalis beserta variannya merupakan pandangan mainstream di dalam ilmu hubungan internasional. Namun kemudian, seiring dengan berbagai perkembangan muncul isu-isu baru dan proliferasi aktor-aktor nonstate. Hal ini mengkibatkan banyak gejala dan fenomena hubungan internasional yang tidak dapat dijelaskan melalui logika berpikir paradigma mainstream. Isu yang turut berkembang adalah mengenai keamanan negara (traditional security) yang mulai bergeser kepada isu kemananan nontradisional. Salah satunya adalah mengenai isu lingkungan hidup yang selama perang dingin berlangsung kurang mendapatkan perhatian oleh negara.
Selama perang dingin, negara-negara terdikotomi ke dalam blok-blok ideologis. Preferensi negara tertuju kepada apakah berpihak pada ideologi liberal atau ideologi komunis. Selain itu, terdapat negara-negara yang memilih untuk netral. Netralitas ini justru secara tidak langsung melahirkan blok tersendiri yang dinamakan Gerakan Non Blok (GNB). Mayoritas anggotanya berasal dari negara Asia dan Afrika.
Kemunculan Isu Lingkungan Hidup
            Pemanasan global, degradasi lingkungan hidup, kelangkaan flora-fauna dan perubahan iklim pada awalnya merupakan contoh-contoh permasalahan yang terkait dengan lingkungan hidup. Perkembangan ilmu hubungan internasional yang state centric dan berorientasi pada isu high politic semasa perang dingin membuat isu yang terkait dengan lingkungan hidup terabaikan. Selain itu, perkembangan ekonomi yang massif, proliferasi penggunaan teknologi baru, dan peningkatan jumlah populasi mengakibatkan peningkatan penggunaan energi dan sumberdaya alam.[4] Dinamika ini kemudian mempengaruhi keberlangsungan lingkungan hidup. Dampak pencemaran lingkungan hidup tidak hanya bersifat lokal namun juga mempunyai dampak global seperti adanya global warming. Merespon hal ini, komunitas internasional sadar bahwa permasalahan lingkungan hidup bukanlah suatu permasalahan lokal semata tetapi  haruslah diselesaikan secara bersama.
            Peristiwa bersejarah dalam penanggulangan masalah lingkungan hidup terkait isu lingkungan hidup adalah dengan diadakannya konvensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm pada tahun 1972. Salah satu isu sentral yang dibahas adalah mengenai pembangunan berkelanjutan. Hal ini merupakan reflekasi bahwa pada dasarnya dunia yang kita tempati bukanlah hanya menjadi milik manusia saat ini semata tetapi merupakan milik generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan (sustainabe development)[5] merupakan suatu istilah  yang diadopsi dari United Nation Conference on Human Environment (UNCHE) di Stockholm pada tahun 1972.[6]
Konferensi ini merupakan konferensi PBB yang menjadi titik tolak aktifitas institusional dari United Nations Environment Programme (UNEP) yang pada awalnya menangani masalah lingkungan antara negara-negara utara yang relatif lebih maju dari negara-negara dunia ketiga (third world) di bagian selatan dunia.[7] Dalam perkembangan selanjutnya, pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang berkembang pesat pada tahun 1990-an khsususnya setelah terjadinya United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio pada tahun 1992 yang disebut sebagai Earth Summit.[8] Jumlah negara yang hadir di dalam KTT Bumi ini berjumlah 170 negara.  Pada tahun 1980-an muncul teori sosial hijau (green social) dan politik hijau (green politic)  yang berkonsentrasi terhadap pergerakan sosial baru (new social movement) dalam merespon isu saat itu seperti lingkungan hidup, perdamaian, antinuklir dan gender. Pergerakan sosial ini memberikan dampak terhadap berkembangnya partai-partai pada level lokal, nasional, dan regional (mayoritas berada di Eropa)  berdasarkan pada empat pilar politik hijau: pertanggung jawaban ekologis, keadilan sosial, antikekerasan, dan demokrasi akar rumput. Pilar-pilar ini kemudian  menginspirasi kemunculan partai-partai hijau (green party) di berbagai belahan dunia.[9]
Politik hijau menantangi sturuktur internasional yang telah ada namun pada saat yang sama memberikan pemahaman akan adanya etika keberlangsungan, keadilan, dan harmoni ekosistem.[10] Keadilan lingkungan secara khusus  terkait dengan ketimpangan pembangunan antara negara-negara di dunia bagian utara yang lebih maju dan cenderung industrialis dibandingkan dengan negara-negara selatan yang relatif masih berkembang dan bergantung pada sektor pertanian. Negara-negara utara dianggap sebagai penyebab kerusakan lingkungan hidup sedangkan negara selatan juga mendapatkan stigma dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup yang tidak revolusioner.
Enviromentalisme dalam Hubungan Internasional
Istilah hijau (green) secara sederhana merujuk pada perhatian akan lingkungan hidup. Selain itu, terdapat juga istilah mengenai environmental atau teori hujau (green theory). Pandangan ini beranggapan bahwa permasalahan lingkungan yang menyebabkan bahaya akan keberlangsungan lingkungan hidup disebabkan oleh manusia.[11] Paterson beranggapan bahwa terdapat hubungan antara teori hijau dan hubungan internasional. Dalam memahami ontologi, ia mengklaim bahwa diperlukan adanya perubahan anggagapan dari antroposentrik menjadi ekosentris dalam memahami dunia. Dalam pandangan antroposentris, manusia dianggap sebagai pusat dari dunia sedangkan pandangan ekosentris beranggapan bahwa lingkungan hidup adalah pusat dari dunia. Pandangan ekosentris memberikan pemahaman bahwa manusia bukanlah satu-satunya mahkluk hidup yang tinggal di dalam dunia ini tetapi masih ada mahkluk hidup lain yang hidup dalam dunia ini. Manusia adalah bagian dari alam bukan di atas alam.[12]
Kemudian Paterson menambahkan bahwa perubahan ontologi ini harus diiringi dengan pemahaman mengenai keterbatasan enviromental. Menurutnya keterbatasan ini terkait dengan dua hal. Pertama, pertumbuhan populasi manusia yang mempengaruhi ketersediaan bahan bakar secara khusus yang terkait dengan industri. Kedua, aktifitas industri tersebut  kemudian dapat mempengaruhi polusi dan ketersediaan sumberdaya. Ia juga beranggapan bahwa tatanan dunia yang baru (new world order) haruslah lebih terdesentralisasi dan mengurangi power negara. Terkait dengan tatanan dunia baru, environmentalis atau teoritisi hijau menekankan pada slogan ‘think globally, act locally’. Hal ini berarti, suatu tindakan lokal dapat mempunyai efek global dan efek ini tidak selamanya melalui tatakelola negara tetapi dapat melalui komunitas internasional. Paterson beranggapan bahwa, environmental atau teori politik hijau dalam kaitannya dengan teori hubungan internasional adalah sama-sama menjelaskan destruksi yang diakibatkan oleh manusia dan bagaimana sifat destruktif manusia tersebut juga dapat menciptakan masyarakat yang berkelanjutan apabila terdapat kesadaran bersama akan kehidupan yang lebih baik.[13] 
 Pada tahun 1990-an,  politik hijau diakui sebagai tradisi politik baru. Politik ini menantangi  dua pandangan politik tradisional yang berkembang selama perang dingin yakni liberalisme dan sosialime. Tradisi politik hijau pada awalnya bertujuan untuk mengkritik kapitalisme barat dan sistem komunis Unisoviet yang sama-sama berorientasi pada industri.[14] Selain itu, pada saat yang sama muncul berbagai permasalahan lingkungan hidup yang juga turut berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat seperti pencemaran air, kelangkaan sumber daya, dan kesempatan kerja yang berkurang.
            Dalam perkembangan selanjutnya muncul gelombang kedua politik hijau  yang memberikan pemahaman yang lebih kritikal terkait dan lingkungan hidup. Gelombang ini berusaha agar permasalah lingkungan hidup dapat ditransnasionalisasi ke dalam konsep-konsep politik dan institusi-institusi yang terkait dengan lingkungan hidup. Lebih jauh, gelombang kedua ini memberikan pemahaman mengenai deteritorialisasi atau mengkonseptualisasi secara global pemahaman-pemahaman seperti keadilan lingkungan hidup, hak-hak lingkungan hidup, demokrasi lingkungan, aktivis lingkungan, negara hijau (green state).[15]
Globalisasi dan Permasalahan Lingkungan Hidup
Saat ini dunia sedang berada di dalam era globaliasi. Meskipun demikan, masih ada banyak perdebatan di antara para ahli mengenai kapan globalisasi itu terjadi. Strange dalam Weber mengatakan, “globalization has been described as “a term which can refer to anything from the Internet to a hamburger”. Marchand dalam Weber pun mempertanyakan apakah, “globalization” is a process, an ideology (“globalism”) or a “state of being” (“globality”).[16] Kemudian, Rosenau menyebut era saat ini sebagai era yang ditandai dengan adanya, “shifting boundaries, relocated authorities, weakened states, and proliferating nongovernmental organizations (NGOs) at local, provincial, national, transnational, international, and global levels of community, the time has come to confront the insufficiency of our ways of thinking, talking, and writing about government”[17]  Pernyataan-pernyataan di atas mengafirmasikan bahwa dinamika internasional saat ini tengah berada di dalam situasi yang sangat kompleks dengan proliferasi berbagai aktor secara khusus aktor non negara. Namun yang menjadi persoalan lain adalah semua aktor tersebut bermain di dalam panggung yang sama yakni di dalam dunia. Interaksi antar aktor ini tidak jarang mempengaruhi isu di dalam hubungan internasional secara khsusus terkait dengan lingkungan hidup.
Pertanyaannya adalah dengan ketergantungan dan kerjasama antar negara dalam ekonomi apakah justru pada saat yang sama memberikan dampak destruktif terhadap lingkungan hidup? Atau pertanyaan yang lebih radikal adalah apakah keuntungan ekonomis suatu negara adalah karena suatu negara mengeksploitasi negara lain? Hubungan yang timpang yang sering terjadi antar negara khususnya melalui terminologi utara-selatan merupakan salah satu kajian yang di bahas oleh para teoritisi hijau. Keadilan lingkungan merupakan hal yang penting karena bagaimana pun juga lingkungan hidup merupakan milik semua umat manusia bahkan bagi generasi mendatang. Eckersley dalam Paterson memberikan penolakan terhadap pandangan dunia yang cenderung antroposentris. Menurutnnya pendekatan ini harus berubah menjadi pendekatan yang lebih ekosentris yang menempatkan manusia sebagai bagian kesatuan dari ekosistem.[18]
Di era globalisasi, meskipun terdapatnya hubungan  kesejahteraan masyarakat dan ekonomi, penting agar terciptanya kesadaran akan pembangunan yang berkelanjutan. Negara atau aktor non negara yang bergerak di dalam bidang ekonomi seperti MNC dan TNC perlu meningkatkan eskalasi kesadaran akan esensi pandangan politik hijau. Pandangan yang beranggapan bahwa kerusakan lingkungan hidup justru disebabkan oleh manusia itu sendiri.[19] Keberlangsungan ekologis merupakan suatu hal yang tidak dapat dimunafikkan karena pada dasarnya keberlangsungan hidup generasi mendatang sangat ditentukan oleh generasi umat manusia saat ini.
Seperti yang dikatakan oleh Rosenau bahwa terdapatnya relocated authorities dan weakened states  di atas, perlu digaris bawahi bahwa masalah lingkungan hidup tidak sebatas merupakan permasalahan negara tetapi justru permasalahan ini perlu ditangani melalui kolaborasi antara sektor-sektor lain secara khusus sektor pasar dan masyarakat. Terkait dengan hal ini, teoritisi hijau merekomendasikan agar permasalah lingkungan hidup di mulai pada tingkatan lokal atau disebut juga sebagai desentralisasi. Namun, tentu hal ini akan menjadi mustahil ketika jejaring dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan hanya terbetas pada skala lokal padahal permasalahan lingkungan relatif mempengaruhi bidang yang lain dan mempunyai dimensi global. Maka, desentralisasi yang dimaksudkan oleh kalangan hijau sebenarnya mengandung makna perlu adanya tindakan lokal yang berdampak global. Mengatasi masalah lingkungan pada tingkat lokal harus dimulai melalui pendekatan akar rumput. Hal ini disebabkan karena permasalahan lingkungan selain bersifat lokal tetapi juga terdapat dimensi transnasional bahkan global.[20] Peran civil society sangat penting dalam mengupayakan pembentukan norma-norma lingkungan hidup seperti yang diharapkan oleh para teoritisi politik hijau sehingga permasalahan lingkungan benar-benar dapat dimulai pada tingkatan yang paling rendah yakni pada level lokal (desentralisasi).
Kesimpulan
            Berakhirnya perang dingin mempengaruhi terhadap kemuncuan isu selain isu high politic seperti lingkungan hidup yang salam perang dingin berlangsung kurang mendapatkan perhatian. Selain terdapatnya pergesaran isu yang baru, proliferasi aktor non negara turut mempengaruhi konstelasi hubungan internasional. Isu lingkungan hidup di dalam hubungan internasional menjadi signifikan karena permasalahan lingkungan dapat terjadi pada level lokal, transnasional bahkan global. Selain itu, teoritisi environmentalis memberikan pengaruh yang besar terkait pandangan bagaimana letak lingkungan hidup di dalam hubungan internasional. Permasalahan lingkungan hidup bukan saja semata permasalahan yang harus diselesaikan oleh negara tetapi menuntut keterlibatan pihak lain secara khsusus pasar dan masyarakat.
            Terakhir, globalisasi dapat memberikan polemik terhadap perkembangan isu lingkungan hidup. Namun yang perlu menjadi catatan adalah perlunya kesadaran akan pemahaman yang sudah dibangun oleh para pemikir hijau seperti ekosentrisme, keterbatasan pertumbuhan, dan desentralisasi penyelesaian masalah lingkungan. Dengan demikian diharapkan permasalahan lingkungan dapat diselesaikan bersama dan wajah dunia dapat menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, William Mark (2001). Green Development: Environment and Sustainability in The Tthird Wolrd (Second Edition), New York: Routledge.
Eckersley, Robyn (2010). ‘Green Theory’ dalam dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International Relation Theorie: second Edition, New York: Oxford.
Paterson, Matthew  (2001). ‘Green Politics’ dalam ” dalam Burchill, Scott; Linklater, Andrew et al. Theories of International Relations, Third edition.  New York: Palgrave Macmillan.
Rosenau, James (2006). The Study of World Politic Volume 2, New York: Routledge.
O’Neill, Kate (2009). The Environment and International Relations, Edinburgh: Cambridge.
Vogler, John dan Mark F. Imber (1996). The Environment and International Relations, New York: Routledge.
Weber, Cynthia (2010). International Relation Theory: A Critical Introduction Third Edition, New York: Routledge.



[1] Kate O’Neill (2009). The Environment and International Relations, Edinburgh: Cambridge. Hal.8.
[2] Ibid.
[3] Ibid., Hal.10.
[4]Robyn Eckersley (2010). ‘Green Theory’ dalam dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International Relation Theorie: second Edition, New York: Oxford. Hal. 259.
[5]Menurut Adams istilah pembangunan berkelanjutan (sustainabe development) merupakan istilah konsep teoritis yang dapat juga diartikan dengan pembangunan hijau (green development) atau ecodevelopment (2001:4).
[6] William Mark Adams (2001). Green Development: Environment and Sustainability in The Tthird Wolrd (Second Edition), New York: Routledge. Hal. 1.
[7] John Vogler dan Mark F. Imber (1996). The Environment and International Relations, New York: Routledge. Hal. 5. Adams menjelaskan bahwa dunia ketiga (third world) merupakan istilah yang digunakan untuk negara-negara yang tidak terlalu bergerak dalam bidang industri. Negara selatan (the south) merupakan negara yang berkembang atau sedang berkembang. Adapun dunia ketiga juga dapat diartikan pada negara-negara yang tidak beraliansi dengan negara-negara kapitalis di dunia pertama (first world) dan negara-negara sosialis di dunia kedua (second world) (2001:xvii).
[8] Adams, Op. Cit., Hal. 2.
[9] Eckersley, Op. Cit., Hal. 260.
[10] O’Neill, Op. Cit., Hal. 18.
[11] Cynthia Weber  (2010). International Relation Theory: A Critical Introduction Third Edition, New York: Routledge. Hal. 192.
[12] Ibid.Hal.193.
[13]Ibid. Hal. 193-194.
[14] Eckersley, Op. Cit., Hal.260.
[15] Ibid. Hal.262.
[16] Weber, Op. Cit.,Hal. 108.
[17] James   Rosenau  (2006). The Study of World Politic Volume 2, New York: Routledge. Hal. 111.
[18] Matthew Paterson (2001). ‘Green Politics’ dalam ” dalam Burchill, Scott; Linklater, Andrew et al. Theories of International Relations, Third edition.  New York: Palgrave Macmillan. Hal. 237.
[19] Ibid. Hal.237.
[20] Ibid. Hal. 247.

No comments:

Post a Comment