Tulisan ini
membahas mengenai pendekatan postsrukturalisme di dalam kaitannya dengan studi
keamanan. Di dalam tulisan ini akan menggunakan tiga rujukan. Pertama melalui
tulisan Peoples dan Williams yang memberikan pemahaman mengenai dinamika
paradigma poststrukturalisme di dalam hubungan internasional dan studi
kemamanan yang mendapatkan pengaruh dari scholar-scholar yang bukan berasal luar
studi hubungan internasional. Kedua, tulisan Campbell yang memberikan pemahaman
perkembangan paradigma poststrukturalisme. Ketiga, tulisan Neal yang memberikan
pemahaman mengenai politik eksepsional yang berkembang di dalam paradigma
poststrukturalisme di dalam studi keamanan kontemporer.
ULASAN
Paradigma Poststrukturalisme menjadi bagian dari hubungan internasional
sejak tahun 1980-an. Adapun beberapa scholar yang mempengaruhi perkembangan
paradigma ini pada saat itu adalah melalui tulisan-tulisan scholar seperti
Richard Ashley (1981, 1984), James Der Derian (1987), Michael Shapiro (1988),
dan R.B.J Walker (1987, 1993). Sebagai paradigma post positifis, kehadiran
paradigma poststrukturalis lahir sebagai kritik terhadap paradigma mainstream di dalam hubungan
internasional secara khusus realisme dan neorealisme. Kritik utama para scholar
poststrukturalisme terhadap paradigma realisme karena realisme mengesampingkan
pentingnya aktor-aktor selain aktor negara seperti aktor transnasionalisme
baru, perubahan isu, suara-suara dari
masyarakat yang termarjinalkan, dan perspektif (David Campbell:2007, hal.216)
Pada awal perkembangannnya, Poststrukturalisme dimulai dengan adanya
perhatian etis (moral) dengan melingkupi aktor-aktor-aktor selain aktor negara
yang pada sebelumnya diabaikan dalam paradigma mainstream hubungan internasional (Campbell:2007, hal.216).
Poststrukturalisme ditandai dengan pertanyaan mengapa negara dianggap sebagai
aktor utama di dalam poltik dunia dan bagaimana negara dapat dipahami sebagai
aktor utama dan aktor rasional. Meskipun demikian, pardigma ini bukanlah
paradigma yang anti terhadap negara sebab justru poststrukturalisme juga
memberikan perhatian terhadap sejarah negara, konsep-konsep yang dihasilkan
negara, bentuk politik, institusi ekonomi negara, dan eksklusi sosial
(Cambell:2007, hal.215-216).
Istilah poststrukturalis di dalam beberapa literatur sering disamakan
dengan istilah postmodernitas, dan post modernisme. Istilah modernisme merujuk
pada gaya kultural utama sebelum perang dunia kedua yang terjadi pada tahun
1890an. Kemudian, postmodernisme merujuk kepada periode setelah perang dunia
kedua yang ditandai dengan budaya yang semakin pluralistik dan
terglobalisasikan akibat dari perang dingin (Campbell:2007, hal.221). Istilah
ini juga secara historis adalah istilah yang memayungi seni, arsitektural, dan
pergerakan budaya yang muncul di barat pada tahun 1950an atau 1960an (Peoples
dan Williams:2010, Hal. 63). Meskipun demikian, poststruktulis yang dimaksudkan
di dalam review ini berbeda dengan
pemikiran sosial, politik, dan filsafat yang terkait dengan istilah ini tetapi
juga mempunyai tradisi strukturalis (Peoples dan Williams:2010, Hal. 63).
Kemudian paradigma poststrukturalisme mendapatkan pengaruh oleh disiplin
ilmu lain seperti ilmu linguistik. Salah satu linguis yang mempengaruhi
paradigma adalah linguis asal Swis Ferdidand de Saussure. Istilah strukturalis
bertujuan untuk mempelajari konstruksi sosial dan kultural dari berbagai
struktur yang memberikan arti di dalam kehidupan kita sehari-hari. Poststrukturalis
juga menganalisa arti (meaning) yang
diproduksi oleh struktur secara konsisten terhadap transformasi tatanan sosial
pada akhir abad ke duapuluh (Cambell, 2010:, 222). Dengan demikian, ide yang
dapat kita pikirkan dan kita bicarakan mengenai dunia bermakna lugas. Dalam hal
ini peran bahasa adalah penting karena pengetahuan dan pengalaman mengenai
dunia tidak dapat dipikirkan di luar interpretasi.
Sausure (1857-1913) seorang linguis dari Swis beranggapan bahwa strukutur
dari setiap bahasa mempunyai rangkaian bunyi dan ide. Unit basis dari struktur
linguistik disebut tanda (sign) dan
setiap tanda terdiri dari dua bagian yakni signifier
dan signified. Setiap tanda terdiri
dari dua bagian komponen yakni signifier
(misalnya bunyi dari kata kursi ketika diucapkan) dan signified (misalnya ide mengenai kursi adalah sesuatu yang
digunakan untuk duduk). Menurutnya suatu arti bergantung pada perbedaan yang
ada pada struktur bahasa Hal ini dikarenakan menurutnya tidak ada hubungan yang
hakiki antara signifier dan signified. Tidak ada istilah positif di dalam struktur bahasa yang ada
adalah hanya perbedaan. (Peoples dan Williams:2010, Hal. 63-64). Kemudian
menurut Derrida suatu arti tidak selalu stabil seperti yang diartikan oleh
Sausure karena arti dari setiap tanda yang diberikan pada kalimat mempunyai
ambiguitas dan dapat mengarah pada kebingungan. Menurutnya, arti bersifat licin
dan bergerak sehingga dalam berbicara pada akhirnya berbeda. Deririda memberika
istilah dekonstruksi yang merupakan sebuah cara berpikir dengan mengambil ketidakstabilan
dari suatu arti sebagai titik awal agar kemudian menjadi upaya untuk
mengamankan arti tersebut (Peoples dan Williams:2010, Hal. 65)
Foucault merupakan salah satu pemikir sejarah dan sosial yang mempengaruhi
pemikiran posstrukturalis. Dia mempertanyakan apa arti dari kegilaan (madness). Dia mengeksplorasi arti dari
kegilaan yang dihasilakan melalui institusi sosial yang berbeda pada waktu yang
berbeda. Oleh karena itu kebenaran dapat
bervariasi bergantung dari konteksi
sosial, ekonomi, dan sejarah. Menurut Foucault diskursus merupakan suatu hal
yang penting agar dapat digunakan dalam menganalisa karena kebenaran dapat
berbeda-beda. Kebenaran merupakan implikasi relasi dari antara pengetahuan dan
kekuasaan. Foucault beranggapan bahwa power bukanlah sesuatu yang dapat
dimiliki oleh seseorang. Foucault juga memberikan istilah relasi power (relations of power) di dalam
masyarakat. Menurutnya penting agar power dipahami sebagai relasi saling yang mempengaruhi.
Sehingga menurutnya, lebih penting untuk memahami bagaimana relasi power di
dalam setiap konteks tertentu dari pada siapa yang memiliki power. Relasi power
ini tidak selamanya berarti represif atau seperti hubungan tuan dan budak.
Karena masih dimungkinkan terdapatnya bentuk kebebasan di dalam pelaksanaannya.
Meskipun demikian, relasi power ini tetap memperoleh unsur resistensi. Dalam
konteks ini, relasi power mempunyai dimensi produktif (Peoples dan
Williams:2010, Hal. 66).
Poststrukturalis dan Security
Studies
Pada awal perkembambangannya, paradigma poststrukturalis
mengkritisi dominasi dari pemikiran realis dan neorealis. Paradigma ini
beranggapan bahwa dunia sosial adalah sesuatu yang diberikan (given) sedangkan paradigma ini tidak meperhatikan
bagaimana peran pengetahuan dalam menghasilkan dunia sosial tersebut. Dalam
tulisannya yang berjudul Inside/Outside:
International Relation as Political Theory (1993) R.B.J Walker beranggapan
bahwa kedaulatan bukan merupakan sesuatu yang natural diberikan. Kedaulatan
merupakan konstruksi sejarah yang muncul pada abad ke-17. Kemudian menurutnya,
kedaulatan mengakibatkan paradoks identitas kembar yakni karena kedaulatan
menghasilkan identitas sebagai warga negara yang merupakan bagian dari mahkluk
universal dan sebagai bagian dari negara. Prinsip dari kedaulatan menurutnya
menghasilkan perbedaan temporal dan spasial dari inside dan outside. Inside dari komunitas politik
diasosiasikan dengan keselamatan, keamanan, dan persahabatan dan outside dari komunitas internasional
diasosiaksikan dengan ketiadaan hukum, ketidakamanan, dan permusuhan.
Menurutnya, teori hubungan internasional tradisional gagal dalam mengakui
logika inside atau outside
mengegaskan kembali keterbatasan dalam gambaran politik modern (Peoples dan
Williams:2010, Hal. 67).
Tulisan David Campbell’s yang
berjudul Writing Security: United States
Foreign Policiy and The Politics of Identity memberikan pemahaman bahwa peran
identitas dan dan production
of danger berpengaruh dalam keamanan internasional. Ia berpendapat bahwa
identitas dipengaruhi oleh perbedaan. Identitas dihasilkan melalui inskripsi batas-batas yang membatasi inside dan outside, diri dan yang lain, dalam negeri dan luar negeri. Campbell
beranggapan bahwa identitas yang dimilikii oleh negara bukan merupakan sesuatu yang diberikan (given) tetapi dihasilkan melalui
hubungan dengan negara-negara lain melalui praktik yang berulang-ulang melalui undang-undang
dan konstitusi yang membatasi negara
yang satu dengan yang lain serta memberikan perbedaan atau identitas. Negara
merupakan entitas politik yang harus disadari sebagai ‘work in progress’ (Peoples dan Williams:2010, Hal. 67).
Campbell beranggapan bahwa
bahaya (danger) bukanlah suatu
kondisi objektif. Campbell mengatakan, “it
(sic) is not a thing that exists independently of those whom it may become a
threat”. Bahaya bukan merupakan sesuatu yang inheren dan bahaya tidak
mengancam secara sama di dalam politik internasional. Bahaya harus dipahami
sebagai ‘category of understanding’. Dalam konteks ini, ia mengatakan bahwa, “‘those events or factors that we identify
as dangerous come to be ascribed as such only through an interpretation of
their various dimensions of dangerousness”. Hal ini berlawananan dengan
pemahaman bahwa negara X sebagai sumber bahaya dan kemudian diidentifikasi oleh
negara Y. Bagi Campbell, kebijakan luar negeri secara tradisional dipahami
dalam istilah hubungan eksternal negara. Di dalam analisanya pada periode
perang dingin, Campbell menyadari bahwa bahaya dan keberbahayaan berasal dari komunisme. Pada awal masa perang dingin,
pemerintah Amerika Serikat membuat kebijakan konfrontatif terhadap apa yang
disebut sebagai ‘red scare’ sebagai
bentuk konfrontatif terhadap bahaya komunisme yang di usung oleh Unisoviet.
Dalam konteks perang dingin, tulisan-tulisan mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat mencoba
untuk mengamankan identitas Amerika Serikat. Hal ini dilakukan atas dasar
ancaman ektra teritori dan demonisasi Unisoviet sebagai alien, subversif,
kotor, dan sakit. Dalam konteks ini,
Amerika Serikat mencoba untuk memberikan arti dari keamanan yang timbul melalui
identitas komunisme yan berasal dari Unisoviet (Peoples dan Williams:2010, Hal.
68).
Analisis
Di dalam perkembangan paradigma poststrukturalis terhadap
keamanan, eksepsionalisme merupakan konsep yang berkembang di dalam realitas
hubungan internasional kontemporer. Eksepsionalisme merupakan pandangan yang
meliputi sususan dari kebijakan dan paraktik
illiberal yang dilegitimasi
melalui klaim tentang eksepsi (pengecualian) terhadap norma (Neal:2006,
Hal.31). Logika eksepsionalisme merupakan suatu hal yang digunakanan dalam kebijakanan counter terrorist
kontemporer (Peoples dan Williams:2010, Hal. 70). Konsep eksepsionalis menjadi
popular setelah kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang disebut sebagai war on terror pada era pemerintahan
Presiden George Bush. Logika eksepsionalisme merupakan konsep yang digunakanan
dalam kebijakanan counter terrorist
kontemporer (Peoples dan Williams:2010, Hal. 70).
Isu
keamanan dikonstruksikan melalui dialektika antara aktor negara yang melakukan
sekuritisasi dan publik yang menerima dan menilai tindakan tersebut. Sehingga
Neal beranggapan bahwa legitimasi dari praktik eksepsioanal tidak selalu
berhasil dan konsep ini dapat dikritisi. Konsep ini juga dapat
di-dilegitimasi baik di dalam kebijakan
maupun praktik. Suatu isu disekuritisasi oleh elit keamanan dan agen negara
melalui ‘speech act’ dimana elite dan
agen tersebut mencoba untuk meyakinkan para pendengar (audience) bahwa pada isu
tertentu mempunyai permasalahan keamanan di dalam faktanya. Hal ini akan
berdampak adanya bentuk gerakan politik dan sosial (Neal:2006, Hal.33). Sejalan dengan hal ini, maka akan sulit untuk
menjaga perbedaan antara kehidupan yang normal bagi masyarakat dengan kehadiran
politik eksepsional di dalam kehidupan nyata. Generalisasi yang diberikan oleh
aktor negara mengenai politik eksepsional menempatkan setiap masyarakat di
bawah ancaman yang tidak habis-habisnya dari ketidakamanan (Peoples dan
Williams:2010, Hal. 72). Dengan adanya
kepentingan tertentu, maka negara dapat saja mengkonstruksikan ketidakamanan
yang sebenarnya berpotensi untuk menjadi ancaman bagi ketidakaman masyarakatnya
sendiri dan masyarakat di negara lain. Hal ini terbukti dengan kebijakan luar
negeri ‘war on terror’ Presiden
George Bush yang berujung pada invasi ke Afganistan pada tahun 2001 dan ke Irak
pada tahun 2003. Dengan adanya tuduhan ploriferasi senjata massal dan gembong
teroris, Amerika Serikat dan sekutunya seakan-akan memperoleh legitimasi untuk
menginvasi Afganistan dan Irak. Padahal, di dalam invasi terbut mendapatkan
berbagai penolakan yang juga hadir dari masyarakat domestik Amerika Serikat dan
dunia internasional. Selain itu, terdapat banyak masyarakat sipil yang harus
menjadi korban baik secara materi maupun nyawa.
Tulisan David Campbell’s yang berjudul Writing
Security: United States Foreign Policiy and The Politics of Identity yang
memberikan pemahaman bahwa peran identitas dan
production of danger
berpengaruh dalam keamanan internasional. Selama perang dingin, ancaman
terbesar bagi Amerika Serikat adalah bahaya komunisme yang berasal dari
Unisoviet. Kemudian setelah kejadian 9/11 yang menghancurkan gedung pentagon
dan World Trade Center (WTC) arah kebijakan
luar negeri Amerika Serikat dalam merespon dunia internasional turut berubah.
Jika selama perang dingin, ancaman eksternal terbesar Amerika Serikat berasal
dari aktor negara namun pasca peristiwa 9/11 ancaman eksternal bagi Amerika
serikat juga datang dari aktor non negara dalam hal ini terorisme. Neal
mengatakan bahwa kejadian eksepsional atau situasi eksepsional mendikte suatu
respon eksepsional. Sehingga, diskursus mengenai keamanan adalah hal yang
penting Neal:2006, Hal.34). Dengan demikian, tindakan eksepsional sebenarnya
merupakan tindakan yang tidak hanya untuk melegitimasi kepentingan negara yang
dalam konteks tertentu mendiskreditkan norma tetapi legitimasi tindakan ini
juga berhak mendapatkan respon dari msyarakat suatu negara. Apakah tindakan
keamanan negara justru menjadi ketidakamanan bagi masyarakat domestiknya atau
bahkan masyarakat yang ada di negara lain sangat bergantung dari bagaimana
diskursus mengenai keamanan dan politik eksepsional itu sendiri. Negara dapat
mendelegitimasi respon eksepsional baik di dalam praktik maupun kebijakan.
Dengan demikian, norma yang
merupakan harapan kolektif tentang apa yang baik dan benar sebenarnya dapat menjadi
patokan utama apabila diskursus tentang tindakan eksepsional memberikan celah yang besar bagi masyarakat
luas dalam memberikan respon terhadap suatu kebijakan dan praktik eksepsional. Sehingga,
tindakan eksepsional tidak selamanya menjadi pembenaran bagi negara dalam
melakukan suatu tindakan sekuritisasi yang justru sering berimplikasi ketidakamanan
bagi masyarakat domestik dan internasional. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh Foucault bahwa kebenaran selalu
merupakan produk relasi antara power dan pengetahuan. Power merupakan
sesuatu yang relasional sehingga dimana terdapat power maka disitu selalu ada
resistensi.
Kesimpulan
Poststrukturalisme merupakan suatu pendekatan yang lahir
sebagai kritik terhadap paradigma mainstream
di dalam hubungan internasional. Paradigma ini dalam kaitan dengan studi
keamanan memberikan pemahaman yang besar akan pentingnya kekuatan diskursus.
Kedaulatan negara bukan merupakan sesuau yang diberikan tetapi merupakan
sesuatu yang dikonstruksikan. Selain itu identitas mempunyai peranan yang
penting bagi suatu negara dalam memahami hubungannya dengan negara lain.
Sehingga, konstruksi identitas negara yang berlainan dan berpotensi mengancam
dapat menjadi sumber tindakan
sekuritisasi suatu negara.
Politik eksepsional merupakan
suatu konsep kontemporer yang berkembang di dalam pendekatan poststrukturalis.
Negara dapat mempunyai legitimasi untuk melanggar norma tertentu dalam tindakan
sekuritisasi. Meskipun demikian, tindakan eksepsional dapat di-delegitimasi
baik di dalam politik maupun kebijakan melalui tindakan diskursif.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell,
David. 2010. ‘Poststructuralism’, dalam
Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International Relation Theories,
Second Ed. New York: Oxford University Press.
Neal,
Andrew W. 2006. ‘Foucault in Guantánamo: Towards an Archaeology of the
Exception’. SAGE Publications, Vol. 37(1): 31–46.
Peoples,
Columba dan Nick Vaughan-Williams. 2010. Critical Security Studies: An
Introduction. New York: Routledge.
No comments:
Post a Comment