Review

Tuesday, April 5, 2016

POSTSTRUKTURALISME DAN STUDI KEAMANAN



Tulisan ini membahas mengenai pendekatan postsrukturalisme di dalam kaitannya dengan studi keamanan. Di dalam tulisan ini akan menggunakan tiga rujukan. Pertama melalui tulisan Peoples dan Williams yang memberikan pemahaman mengenai dinamika paradigma poststrukturalisme di dalam hubungan internasional dan studi kemamanan yang mendapatkan pengaruh dari scholar-scholar yang bukan berasal luar studi hubungan internasional. Kedua, tulisan Campbell yang memberikan pemahaman perkembangan paradigma poststrukturalisme. Ketiga, tulisan Neal yang memberikan pemahaman mengenai politik eksepsional yang berkembang di dalam paradigma poststrukturalisme di dalam studi keamanan kontemporer.
ULASAN
Paradigma Poststrukturalisme menjadi bagian dari hubungan internasional sejak tahun 1980-an. Adapun beberapa scholar yang mempengaruhi perkembangan paradigma ini pada saat itu adalah melalui tulisan-tulisan scholar seperti Richard Ashley (1981, 1984), James Der Derian (1987), Michael Shapiro (1988), dan R.B.J Walker (1987, 1993). Sebagai paradigma post positifis, kehadiran paradigma poststrukturalis lahir sebagai kritik terhadap paradigma mainstream di dalam hubungan internasional secara khusus realisme dan neorealisme. Kritik utama para scholar poststrukturalisme terhadap paradigma realisme karena realisme mengesampingkan pentingnya aktor-aktor selain aktor negara seperti aktor transnasionalisme baru,  perubahan isu, suara-suara dari masyarakat yang termarjinalkan, dan perspektif (David Campbell:2007, hal.216)
Pada awal perkembangannnya, Poststrukturalisme dimulai dengan adanya perhatian etis (moral) dengan melingkupi aktor-aktor-aktor selain aktor negara yang pada sebelumnya diabaikan dalam paradigma mainstream hubungan internasional (Campbell:2007, hal.216). Poststrukturalisme ditandai dengan pertanyaan mengapa negara dianggap sebagai aktor utama di dalam poltik dunia dan bagaimana negara dapat dipahami sebagai aktor utama dan aktor rasional. Meskipun demikian, pardigma ini bukanlah paradigma yang anti terhadap negara sebab justru poststrukturalisme juga memberikan perhatian terhadap sejarah negara, konsep-konsep yang dihasilkan negara, bentuk politik, institusi ekonomi negara, dan eksklusi sosial (Cambell:2007, hal.215-216).
Istilah poststrukturalis di dalam beberapa literatur sering disamakan dengan istilah postmodernitas, dan post modernisme. Istilah modernisme merujuk pada gaya kultural utama sebelum perang dunia kedua yang terjadi pada tahun 1890an. Kemudian, postmodernisme merujuk kepada periode setelah perang dunia kedua yang ditandai dengan budaya yang semakin pluralistik dan terglobalisasikan akibat dari perang dingin (Campbell:2007, hal.221). Istilah ini juga secara historis adalah istilah yang memayungi seni, arsitektural, dan pergerakan budaya yang muncul di barat pada tahun 1950an atau 1960an (Peoples dan Williams:2010, Hal. 63). Meskipun demikian, poststruktulis yang dimaksudkan di dalam review ini berbeda dengan pemikiran sosial, politik, dan filsafat yang terkait dengan istilah ini tetapi juga mempunyai tradisi strukturalis (Peoples dan Williams:2010, Hal. 63).
Kemudian paradigma poststrukturalisme mendapatkan pengaruh oleh disiplin ilmu lain seperti ilmu linguistik. Salah satu linguis yang mempengaruhi paradigma adalah linguis asal Swis Ferdidand de Saussure. Istilah strukturalis bertujuan untuk mempelajari konstruksi sosial dan kultural dari berbagai struktur yang memberikan arti di dalam kehidupan kita sehari-hari. Poststrukturalis juga menganalisa arti (meaning) yang diproduksi oleh struktur secara konsisten terhadap transformasi tatanan sosial pada akhir abad ke duapuluh (Cambell, 2010:, 222). Dengan demikian, ide yang dapat kita pikirkan dan kita bicarakan mengenai dunia bermakna lugas. Dalam hal ini peran bahasa adalah penting karena pengetahuan dan pengalaman mengenai dunia tidak dapat dipikirkan di luar interpretasi.
Sausure (1857-1913) seorang linguis dari Swis beranggapan bahwa strukutur dari setiap bahasa mempunyai rangkaian bunyi dan ide. Unit basis dari struktur linguistik disebut tanda (sign) dan setiap tanda terdiri dari dua bagian yakni signifier dan signified. Setiap tanda terdiri dari dua bagian komponen yakni signifier (misalnya bunyi dari kata kursi ketika diucapkan) dan signified (misalnya ide mengenai kursi adalah sesuatu yang digunakan untuk duduk). Menurutnya suatu arti bergantung pada perbedaan yang ada pada struktur bahasa Hal ini dikarenakan menurutnya tidak ada hubungan yang hakiki antara signifier dan signified. Tidak ada istilah  positif di dalam struktur bahasa yang ada adalah hanya perbedaan. (Peoples dan Williams:2010, Hal. 63-64). Kemudian menurut Derrida suatu arti tidak selalu stabil seperti yang diartikan oleh Sausure karena arti dari setiap tanda yang diberikan pada kalimat mempunyai ambiguitas dan dapat mengarah pada kebingungan. Menurutnya, arti bersifat licin dan bergerak sehingga dalam berbicara pada akhirnya berbeda. Deririda memberika istilah dekonstruksi yang merupakan sebuah cara berpikir dengan mengambil ketidakstabilan dari suatu arti sebagai titik awal agar kemudian menjadi upaya untuk mengamankan arti tersebut (Peoples dan Williams:2010, Hal. 65)
Foucault merupakan salah satu pemikir sejarah dan sosial yang mempengaruhi pemikiran posstrukturalis. Dia mempertanyakan apa arti dari kegilaan (madness). Dia mengeksplorasi arti dari kegilaan yang dihasilakan melalui institusi sosial yang berbeda pada waktu yang berbeda.  Oleh karena itu kebenaran dapat bervariasi bergantung dari  konteksi sosial, ekonomi, dan sejarah. Menurut Foucault diskursus merupakan suatu hal yang penting agar dapat digunakan dalam menganalisa karena kebenaran dapat berbeda-beda. Kebenaran merupakan implikasi relasi dari antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault beranggapan bahwa power bukanlah sesuatu yang dapat dimiliki oleh seseorang. Foucault juga memberikan istilah relasi power (relations of power) di dalam masyarakat. Menurutnya penting agar power dipahami sebagai relasi saling yang mempengaruhi. Sehingga menurutnya, lebih penting untuk memahami bagaimana relasi power di dalam setiap konteks tertentu dari pada siapa yang memiliki power. Relasi power ini tidak selamanya berarti represif atau seperti hubungan tuan dan budak. Karena masih dimungkinkan terdapatnya bentuk kebebasan di dalam pelaksanaannya. Meskipun demikian, relasi power ini tetap memperoleh unsur resistensi. Dalam konteks ini, relasi power mempunyai dimensi produktif (Peoples dan Williams:2010, Hal. 66).
Poststrukturalis dan Security Studies
                Pada awal perkembambangannya, paradigma poststrukturalis mengkritisi dominasi dari pemikiran realis dan neorealis. Paradigma ini beranggapan bahwa dunia sosial adalah sesuatu yang diberikan (given)  sedangkan paradigma ini tidak meperhatikan bagaimana peran pengetahuan dalam menghasilkan dunia sosial tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul Inside/Outside: International Relation as Political Theory (1993) R.B.J Walker beranggapan bahwa kedaulatan bukan merupakan sesuatu yang natural diberikan. Kedaulatan merupakan konstruksi sejarah yang muncul pada abad ke-17. Kemudian menurutnya, kedaulatan mengakibatkan paradoks identitas kembar yakni karena kedaulatan menghasilkan identitas sebagai warga negara yang merupakan bagian dari mahkluk universal dan sebagai bagian dari negara. Prinsip dari kedaulatan menurutnya menghasilkan perbedaan temporal dan spasial dari inside dan outside. Inside dari komunitas politik diasosiasikan dengan keselamatan, keamanan, dan persahabatan dan outside dari komunitas internasional diasosiaksikan dengan ketiadaan hukum, ketidakamanan, dan permusuhan. Menurutnya, teori hubungan internasional tradisional gagal dalam mengakui logika inside atau outside mengegaskan kembali keterbatasan dalam gambaran politik modern (Peoples dan Williams:2010, Hal. 67).
                Tulisan David Campbell’s yang berjudul Writing Security: United States Foreign Policiy and The Politics of Identity memberikan pemahaman bahwa peran identitas dan  dan  production of danger berpengaruh dalam keamanan internasional. Ia berpendapat bahwa identitas dipengaruhi oleh perbedaan. Identitas dihasilkan melalui  inskripsi batas-batas yang membatasi inside dan outside, diri dan yang lain, dalam negeri dan luar negeri. Campbell beranggapan bahwa identitas yang dimilikii oleh negara bukan  merupakan sesuatu yang diberikan (given) tetapi dihasilkan melalui hubungan dengan negara-negara lain melalui praktik yang berulang-ulang melalui  undang-undang dan  konstitusi yang membatasi negara yang satu dengan yang lain serta memberikan perbedaan atau identitas. Negara merupakan entitas politik yang harus disadari sebagai ‘work in progress’ (Peoples dan Williams:2010, Hal. 67).
                Campbell beranggapan bahwa bahaya (danger) bukanlah suatu kondisi objektif. Campbell mengatakan, “it (sic) is not a thing that exists independently of those whom it may become a threat”. Bahaya bukan merupakan sesuatu yang inheren dan bahaya tidak mengancam secara sama di dalam politik internasional. Bahaya harus dipahami sebagai ‘category of understanding’.  Dalam konteks ini, ia mengatakan bahwa, “‘those events or factors that we identify as dangerous come to be ascribed as such only through an interpretation of their various dimensions of dangerousness”. Hal ini berlawananan dengan pemahaman bahwa negara X sebagai sumber bahaya dan kemudian diidentifikasi oleh negara Y. Bagi Campbell, kebijakan luar negeri secara tradisional dipahami dalam istilah hubungan eksternal negara. Di dalam analisanya pada periode perang dingin, Campbell menyadari bahwa bahaya dan keberbahayaan berasal dari komunisme. Pada awal masa perang dingin, pemerintah Amerika Serikat membuat kebijakan konfrontatif terhadap apa yang disebut sebagai ‘red scare’ sebagai bentuk konfrontatif terhadap bahaya komunisme yang di usung oleh Unisoviet. Dalam konteks perang dingin, tulisan-tulisan mengenai  kebijakan luar negeri Amerika Serikat mencoba untuk mengamankan identitas Amerika Serikat. Hal ini dilakukan atas dasar ancaman ektra teritori dan demonisasi Unisoviet sebagai alien, subversif, kotor,  dan sakit. Dalam konteks ini, Amerika Serikat mencoba untuk memberikan arti dari keamanan yang timbul melalui identitas komunisme yan berasal dari Unisoviet (Peoples dan Williams:2010, Hal. 68).
Analisis
Di dalam perkembangan paradigma poststrukturalis terhadap keamanan, eksepsionalisme merupakan konsep yang berkembang di dalam realitas hubungan internasional kontemporer. Eksepsionalisme merupakan pandangan yang meliputi sususan dari kebijakan dan paraktik  illiberal yang dilegitimasi melalui klaim tentang eksepsi (pengecualian) terhadap norma (Neal:2006, Hal.31). Logika eksepsionalisme merupakan suatu hal yang digunakanan dalam kebijakanan counter terrorist kontemporer (Peoples dan Williams:2010, Hal. 70). Konsep eksepsionalis menjadi popular setelah kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang disebut sebagai war on terror pada era pemerintahan Presiden George Bush. Logika eksepsionalisme merupakan konsep yang digunakanan dalam kebijakanan counter terrorist kontemporer (Peoples dan Williams:2010, Hal. 70).
                Isu keamanan dikonstruksikan melalui dialektika antara aktor negara yang melakukan sekuritisasi dan publik yang menerima dan menilai tindakan tersebut. Sehingga Neal beranggapan bahwa legitimasi dari praktik eksepsioanal tidak selalu berhasil dan konsep ini dapat dikritisi. Konsep ini juga dapat di-dilegitimasi  baik di dalam kebijakan maupun praktik. Suatu isu disekuritisasi oleh elit keamanan dan agen negara melalui ‘speech act’ dimana elite dan agen tersebut mencoba untuk meyakinkan para pendengar (audience)  bahwa pada isu tertentu mempunyai permasalahan keamanan di dalam faktanya. Hal ini akan berdampak adanya bentuk gerakan politik dan sosial (Neal:2006, Hal.33).  Sejalan dengan hal ini, maka akan sulit untuk menjaga perbedaan antara kehidupan yang normal bagi masyarakat dengan kehadiran politik eksepsional di dalam kehidupan nyata. Generalisasi yang diberikan oleh aktor negara mengenai politik eksepsional menempatkan setiap masyarakat di bawah ancaman yang tidak habis-habisnya dari ketidakamanan (Peoples dan Williams:2010, Hal. 72).  Dengan adanya kepentingan tertentu, maka negara dapat saja mengkonstruksikan ketidakamanan yang sebenarnya berpotensi untuk menjadi ancaman bagi ketidakaman masyarakatnya sendiri dan masyarakat di negara lain. Hal ini terbukti dengan kebijakan luar negeri ‘war on terror’ Presiden George Bush yang berujung pada invasi ke Afganistan pada tahun 2001 dan ke Irak pada tahun 2003. Dengan adanya tuduhan ploriferasi senjata massal dan gembong teroris, Amerika Serikat dan sekutunya seakan-akan memperoleh legitimasi untuk menginvasi Afganistan dan Irak. Padahal, di dalam invasi terbut mendapatkan berbagai penolakan yang juga hadir dari masyarakat domestik Amerika Serikat dan dunia internasional. Selain itu, terdapat banyak masyarakat sipil yang harus menjadi korban baik secara materi maupun nyawa. 
Tulisan David Campbell’s yang berjudul Writing Security: United States Foreign Policiy and The Politics of Identity yang memberikan pemahaman bahwa peran identitas dan  production of danger berpengaruh dalam keamanan internasional. Selama perang dingin, ancaman terbesar bagi Amerika Serikat adalah bahaya komunisme yang berasal dari Unisoviet. Kemudian setelah kejadian 9/11 yang menghancurkan gedung pentagon dan World Trade Center (WTC) arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam merespon dunia internasional turut berubah. Jika selama perang dingin, ancaman eksternal terbesar Amerika Serikat berasal dari aktor negara namun pasca peristiwa 9/11 ancaman eksternal bagi Amerika serikat juga datang dari aktor non negara dalam hal ini terorisme. Neal mengatakan bahwa kejadian eksepsional atau situasi eksepsional mendikte suatu respon eksepsional. Sehingga, diskursus mengenai keamanan adalah hal yang penting Neal:2006, Hal.34). Dengan demikian, tindakan eksepsional sebenarnya merupakan tindakan yang tidak hanya untuk melegitimasi kepentingan negara yang dalam konteks tertentu mendiskreditkan norma tetapi legitimasi tindakan ini juga berhak mendapatkan respon dari msyarakat suatu negara. Apakah tindakan keamanan negara justru menjadi ketidakamanan bagi masyarakat domestiknya atau bahkan masyarakat yang ada di negara lain sangat bergantung dari bagaimana diskursus mengenai keamanan dan politik eksepsional itu sendiri. Negara dapat mendelegitimasi respon eksepsional baik di dalam praktik maupun kebijakan.
 Dengan demikian, norma yang merupakan harapan kolektif tentang apa yang baik dan benar sebenarnya dapat menjadi patokan utama apabila diskursus tentang tindakan eksepsional  memberikan celah yang besar bagi masyarakat luas dalam memberikan respon terhadap suatu kebijakan dan praktik eksepsional. Sehingga, tindakan eksepsional tidak selamanya menjadi pembenaran bagi negara dalam melakukan suatu tindakan sekuritisasi yang justru sering berimplikasi ketidakamanan bagi masyarakat domestik dan internasional. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Foucault bahwa kebenaran selalu  merupakan produk relasi antara power dan pengetahuan. Power merupakan sesuatu yang relasional sehingga dimana terdapat power maka disitu selalu ada resistensi.
Kesimpulan
                Poststrukturalisme merupakan suatu pendekatan yang lahir sebagai kritik terhadap paradigma mainstream di dalam hubungan internasional. Paradigma ini dalam kaitan dengan studi keamanan memberikan pemahaman yang besar akan pentingnya kekuatan diskursus. Kedaulatan negara bukan merupakan sesuau yang diberikan tetapi merupakan sesuatu yang dikonstruksikan. Selain itu identitas mempunyai peranan yang penting bagi suatu negara dalam memahami hubungannya dengan negara lain. Sehingga, konstruksi identitas negara yang berlainan dan berpotensi mengancam dapat menjadi sumber  tindakan sekuritisasi suatu negara.
                Politik eksepsional merupakan suatu konsep kontemporer yang berkembang di dalam pendekatan poststrukturalis. Negara dapat mempunyai legitimasi untuk melanggar norma tertentu dalam tindakan sekuritisasi. Meskipun demikian, tindakan eksepsional dapat di-delegitimasi baik di dalam politik maupun kebijakan melalui tindakan diskursif.

DAFTAR PUSTAKA
Campbell, David. 2010.  ‘Poststructuralism’, dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith. International Relation Theories, Second Ed. New York: Oxford University Press.
Neal, Andrew W. 2006. ‘Foucault in Guantánamo: Towards an Archaeology of the Exception’. SAGE Publications, Vol. 37(1): 31–46.
Peoples, Columba dan Nick Vaughan-Williams. 2010. Critical Security Studies: An Introduction. New York: Routledge.

No comments:

Post a Comment