Review

Friday, June 10, 2016

CINTA TANPA AKHIR




Di tengah berbagai pro dan kontra isu PKI yang kembali muncul di negara Indonesia, saya mengunduh sebuah buku yang cukup menarik yang ditulis oleh Robin Small. Judul buku tersebut “Karl Marx The Revolutionary as Educator” yang terbit pada tahun 2014 dan diterbitkan oleh penerbit Springer. Sampai saat ini, buku tersebut belum selesai saya baca dan mungkin tidak saya baca sampai habis karena saya lebih suka membaca dengan teknik scanning dan skimming . Dalam bahasa gaulnya teknik tersebut adalah membaca lompat-lompat ke informasi yang penting saja (atau sebenarnya hanya alasan saja karena malas membaca, hehehe). Namun, salah satu bagian menarik dari buku ini ada pada halaman 6. Pada halaman tersebut,  Small mengutip suatu surat yang ditulis oleh ayah Karl Marx yang ditujukan kepadanya. Small mengutip surat ini dari kumpulan-kumpulan tulisan Karl Marx dengan sahabatnya, Friedrich Engels.
***
Awal pendidikan Karl Marx bermula ketida ia bersekolah di sekolah Gymnasium Trier. Sekolah tersebut merupakan institusi pendidikan yang dikelola oleh  Serikat Yesuit. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah Gymnasium, Karl Marx melanjutkan pendidikannya di Universitas Bonn yang tidak jauh dengan kota kelahirannya, Trier. Jauh sebelum Karl Marx dilahirkan pada 5 May 1818, Trier merupakan  sebuah tempat yang pada abad ke V merupakan tempat  kelahiran dari St. Ambrosius  yang kelak menjadi Uskup di Milan dan menjadi mentor dari St. Agustinus. Setelah kekuasaan Napoleon Bonaparte berkurang, Trier kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Prusia. Jerman merupakan negara yang dulunya merupakan bagian dari Kerajaan Prusia.
Setelah berkuliah selama satu tahun di Universitas Bonn, Karl Marx kemudian pindah ke Universitas di Berlin. Ia pindah ke Berlin karena ayahnya menginginkan agar Karl Marx mendapatkan pendidikan yang lebih baik di sana. Keputusan ayahnya untuk memindahkan Karl Marx ke Berlin memberikan perasaan yang campur  aduk bagi  ayahnya karena harus terpisah karena jarak. Pada musim panas 1836 ketika Karl Marx berumur 18 tahun, ayahnya mengirimkan sepucuk surat kepadanya yang isinya sangat menarik. Penggalan isinya sebagai berikut.
I know that in regard to science Berlin has advantages and great attraction. But apart from the fact that greater difficulties arise there, you must surely also have some regard for your parents, whose sanguine hopes would be largely shattered by your residing so far away. Of course that must not hinder your plan of life; parental love is probably the least selfish of all. But if this plan of life could be fraternally combined with these hopes, that would be for me the highest of all life’s joys, the number of which decreases so considerably with the years (Marx and Engels 1975–2005, vol. 1, pp. 677–678).
Yang menarik dari kutipan surat ini adalah ketika ayah Karl Marx menulis, parental love is probably the least selfish of all.” Terjemahan bebasnya kira-kira adalah cinta orang tua mungkin merupakan cinta yang paling egois dari semuanya. Sepenggal kutipan surat ini menegaskan begitu besar cinta ayah Karl Marx kepadanya sehingga ia menggunakan diksi selfish (egois; yang mementingkan diri). Ayahnya  sadar bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk anaknya mungkin dengan memindahkan Karl Marx ke Universitas yang lebih baik meskipun harus terpisah oleh jarak. Cintah yang mungkin selfish namun untuk kebaikan yang lebih besar.
Penggalan surat ini pun mempunyai beberapa kata kunci yang menarik untuk diingat yakni hope, love, dan joy. Tentu, surat sebagai sarana komunikasi yang efektif pada masa itu ditulis sebagai representasi diri dari ayahnya agar Karl Marx tidak lupa untuk berharap (hope), mencintai (love), dan bergembira (joy). Mungkin surat dari ayahnya ini yang pada akhirnya menjadi motivasi tersendiri bagi Karl Marx di dalam berkuliah. Karl Marx dikemudian hari menjadi seorang doktor dari Universitas di Berlin tersebut dan pada akhirnya menjadi seorang filsuf yang pemikirannya banyak mempengaruhi umat manusia bahkan negara-negara di dunia hingga saat ini.
Lesson learned yang saya dapatkan dari buku yang belum selesai saya baca ini adalah bahwa dibalik usaha seseorang untuk menjadi mencapai kesuksesan selalu ada doa orang tua dibaliknya. Adagium tua Latin mengatakan amare parentes prima lex et-mencintai orang tua adalah hukum yang utama. Mencintai orang tua adalah hukum yang utama karena cinta orang tua adalah cinta yang tak dapat kita balas dengan harta dan materi dalam bentuk apapun karena cinta orang tua merupakan cinta yang tiada akhir, the endless love. Merefleksikan diri atas the endless love yang diberikan oleh orang tua kita masing-masing, pastinya menjadi amunisi mampuni baik sebagai sorang siswa, mahasiswa, dan apapun pekerjaan kita. #all’sFine.



1 comment:

  1. Woori Casino No Deposit Bonus 2021 | Free Play in Demo
    Woori https://octcasino.com/ Casino offers a variety of free febcasino spins casinosites.one and no deposit bonuses, as 1xbet 먹튀 well as regular promotions. As you can't 사설 토토 사이트 claim this offer without being registered

    ReplyDelete