Di
tengah berbagai pro dan kontra isu PKI yang kembali muncul di negara Indonesia,
saya mengunduh sebuah buku yang cukup menarik yang ditulis oleh Robin Small.
Judul buku tersebut “Karl Marx The
Revolutionary as Educator” yang terbit pada tahun 2014 dan diterbitkan oleh
penerbit Springer. Sampai saat ini, buku tersebut belum selesai saya baca dan
mungkin tidak saya baca sampai habis karena saya lebih suka membaca dengan
teknik scanning dan skimming . Dalam bahasa gaulnya teknik tersebut
adalah membaca lompat-lompat ke informasi yang penting saja (atau sebenarnya
hanya alasan saja karena malas membaca, hehehe). Namun, salah satu bagian
menarik dari buku ini ada pada halaman 6. Pada halaman tersebut, Small mengutip suatu surat yang ditulis oleh
ayah Karl Marx yang ditujukan kepadanya. Small mengutip surat ini dari kumpulan-kumpulan
tulisan Karl Marx dengan sahabatnya, Friedrich Engels.
***
Awal
pendidikan Karl Marx bermula ketida ia bersekolah di sekolah Gymnasium Trier.
Sekolah tersebut merupakan institusi pendidikan yang dikelola oleh Serikat Yesuit. Setelah menyelesaikan pendidikan
di sekolah Gymnasium, Karl Marx melanjutkan pendidikannya di Universitas Bonn
yang tidak jauh dengan kota kelahirannya, Trier. Jauh sebelum Karl Marx dilahirkan
pada 5 May 1818, Trier merupakan sebuah tempat
yang pada abad ke V merupakan tempat kelahiran dari St. Ambrosius yang kelak menjadi Uskup di Milan dan menjadi
mentor dari St. Agustinus. Setelah kekuasaan Napoleon Bonaparte berkurang, Trier
kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Prusia. Jerman merupakan negara yang
dulunya merupakan bagian dari Kerajaan Prusia.
Setelah
berkuliah selama satu tahun di Universitas Bonn, Karl Marx kemudian pindah ke
Universitas di Berlin. Ia pindah ke Berlin karena ayahnya menginginkan agar
Karl Marx mendapatkan pendidikan yang lebih baik di sana. Keputusan ayahnya
untuk memindahkan Karl Marx ke Berlin memberikan perasaan yang campur aduk bagi ayahnya karena harus terpisah karena jarak.
Pada musim panas 1836 ketika Karl Marx berumur 18 tahun, ayahnya mengirimkan
sepucuk surat kepadanya yang isinya sangat menarik. Penggalan isinya sebagai
berikut.
I know that in regard to science Berlin has advantages
and great attraction. But apart from the fact that greater difficulties
arise there, you must surely also have some regard for your parents,
whose sanguine hopes would be largely shattered by your residing so far away. Of course
that must not hinder your plan of life; parental love is probably the least
selfish of all. But if this plan of life could be fraternally
combined with these hopes, that would be for me the highest of all life’s
joys, the number of which decreases so considerably with the
years
(Marx and Engels 1975–2005, vol. 1, pp. 677–678).
Yang
menarik dari kutipan surat ini adalah ketika ayah Karl Marx menulis, “parental
love is probably the least selfish of all.” Terjemahan bebasnya
kira-kira adalah cinta orang tua mungkin merupakan cinta yang paling egois dari
semuanya. Sepenggal kutipan surat ini menegaskan begitu besar cinta ayah Karl
Marx kepadanya sehingga ia menggunakan diksi selfish (egois; yang mementingkan diri). Ayahnya sadar bahwa ia harus memberikan yang terbaik
untuk anaknya mungkin dengan memindahkan Karl Marx ke Universitas yang lebih
baik meskipun harus terpisah oleh jarak. Cintah yang mungkin selfish namun untuk kebaikan yang lebih
besar.
Penggalan
surat ini pun mempunyai beberapa kata kunci yang menarik untuk diingat yakni hope, love, dan joy. Tentu,
surat sebagai sarana komunikasi yang efektif pada masa itu ditulis sebagai
representasi diri dari ayahnya agar Karl Marx tidak lupa untuk berharap (hope), mencintai (love), dan bergembira (joy). Mungkin surat dari ayahnya ini
yang pada akhirnya menjadi motivasi tersendiri bagi Karl Marx di dalam
berkuliah. Karl Marx dikemudian hari menjadi seorang doktor dari Universitas di
Berlin tersebut dan pada akhirnya menjadi seorang filsuf yang pemikirannya
banyak mempengaruhi umat manusia bahkan negara-negara di dunia hingga saat ini.
Lesson learned yang saya
dapatkan dari buku yang belum selesai saya baca ini adalah bahwa dibalik usaha
seseorang untuk menjadi mencapai kesuksesan selalu ada doa orang tua
dibaliknya. Adagium tua Latin mengatakan amare
parentes prima lex et-mencintai orang tua adalah hukum yang utama. Mencintai
orang tua adalah hukum yang utama karena cinta orang tua adalah cinta yang tak
dapat kita balas dengan harta dan materi dalam bentuk apapun karena cinta orang
tua merupakan cinta yang tiada akhir, the
endless love. Merefleksikan diri atas the
endless love yang diberikan oleh orang
tua kita masing-masing, pastinya menjadi amunisi mampuni baik sebagai sorang siswa,
mahasiswa, dan apapun pekerjaan kita. #all’sFine.
Woori Casino No Deposit Bonus 2021 | Free Play in Demo
ReplyDeleteWoori https://octcasino.com/ Casino offers a variety of free febcasino spins casinosites.one and no deposit bonuses, as 1xbet 먹튀 well as regular promotions. As you can't 사설 토토 사이트 claim this offer without being registered